"SARAPAN ISUK-ISUK NYANDING GODO GEDANG LAN WEDHANG KOPI, NGROKOK JEDHAL-JEDHIL KOYOK JURAGAN ANYARAN" :
Referensi :
SIAPA pun Anda, yang sudah melek huruf di tahun 1970-an, pasti tak akan lupa dengan nama satu ini: Panji Tengkorak. Inilah sosok yang menjadi bagian dari kehidupan remaja di akhir 1960-an. Dan, tak pelak lagi, nama penciptanya pun menjadi identik, dialah Hans Jaladara.
Hans adalah salah satu dari 7 “pendekar” komik Indonesia di masanya, selain Jan Mintaraga, Ganes Th, Sim, Zaldy, Djair, dan Teguh Santosa. Dari 7 pendekar itu, hanya Hans dan Djair yang masih bertahan. Selebihnya, telah tunduk di depan maut.
Panji Tengkorak yang terdiri dari 5 jilid, boleh dikatakan karya masterpiece Hans. Meski karya lain, Walet Merah, Si Rase Terbang juga meraih popularitas. SetelahSi Buta dari Goa Hantu karya Ganes Th, hanya karya Hans itulah yang mampu menyamainya, difilmkan, bahkan sampai mengundang aktris Taiwan Shan Kuang Ling Fung sebagai Dewi Bunga.
“Setelah Si Buta… populer, sebuah penerbit meminta saya membuat cerita serupa Jan. Tapi saya tak mampu meniru. Saya buat Panji, meski tetap saja banyak yang melihat mirip karya Jan,” cerita Hans, sebagaimana dikutip Kompas.
Ia pun membuat tokok yang anti-si Buta, Badra Mandrawata. Jika si Buta berambut panjang, Panji pendek. Si Buta rapi berbaju kulit ular, Panji compang camping. Si Buta membawa wanara, Panji menyeret keranda. Semua berbeda.
Banyak yang menilai, Panji adalah campuran koboi Italia dan silat Cina masa itu. Bahkan, adegan menyeret keranda, adalah peniruan dari film A Coffin for Jango yang dibintangi Franco Nero.
Tiga versi panji
Hans Jaladara bernama KTP Hans Rianto, kelahiran Yogyakarta 1947, anak kedua dari keluarga Linggodigdo. Nama Jaladara baru ia pakai di awal 1970, karena ada yang meniru namanya. Ia ambil Jaladara dari komik wayang karya Ardi Soma, Wiku Paksi Jaladara.
Ayah Hans adalah guru bahasa Inggris, yang memperkenalkan Shakespeare. Ia bahkan hapal pidato Mark Anthony dalam Julius Caesar itu. Ia pun mewarisi bakat melukis.
“Sampai ditimpuk Bu Guru, karena di sekolah menggambar terus,” kenangnya.
Kebiasaan membaca meliarkan imajinasinya. Melihat pengemis, kadang ia berpikir itu orang sakti yang sedang menyamar. Untuk adegan silat komiknya, ia mempertanggungjawabkannya. Maklum, ia belajar kungfu di Cheng BU Mangga Besar, dan belajar Judo pada Tjoa Kek Tiong.
Hans mulai berkomik sejak 1966, Hanya Kemarin yang diilhami film Hollywood Only Yesterday. Honornya kecil. Namun, saat Panji jaya, satu naskahnya sama dengan satu ons emas.
Namun itu tak lama. 1975, ia menurun. Komik mulai kalah saing. Ia masih bertahan dengan melahirkan Durjana Pemetik Bunga. Tapi, 1987, ia tersungkur. “Bikin komik, hasilnya tak seberapa. Temen-temen lain sudah lari, cari usaha lain. Sim misalnya, jauh hari sudah jadi wartawan,” kenangnya.
Untuk bertahan hidup, ia pindah ke Kebumen, 1978-1983, dan 1988-1994. Istrinya, Risnawati, membuka salon. Ia membeli truk dan pikup, tapi bangkrut. Membeli sedan ikut taksi gelap, malah tertangkap. “Jiwa saya memang tidak untuk dagang.” Ia tertawa.
Selama di Kebumen itu, dia masih mengirim naskah ke Jakarta, meski hasilnya sangat kecil, tak dapat diharapkan menjadi sumber penghidupan. Daya gembur komik Jepang tak dapat ia hadapi.
Namun, dalam “dunia persilatan” yang kacau itu, Hans akhirnya melahirkan “tiga Panji”, setidaknya di mata pengamat komik, Seno Gumira Ajidarma. Pertama, Panji Tengkorak 1968. “Adegan perkelahian silatnya melahirkan gambar koreografi yang artistik. Para petarung bergerak bagai penari, bentuk dan gerakan tubuh ditata harmonis. Ia tak mengacu pada pentuk baladiri mana pun, setia pada imajinasinya,” nilai Seno di situs komikaze.
Panji kedua, 1985. Hans sudah terpengaruh Jepang. Gerakan silat pertarungan, khas kungfu baku, seolah diambil dari buku petunjuk. Kostum bajak laut 1968, jadi bajak laut Jepang 1980-an. “Terjadi degradasi di segala aspek, mengurangi teks, mengosongkan ruang gambar.” Hans mulai diikat pasar.
Tapi, kehancuran Panji di mata Seno, terjadi saat Hans menggambar ulang untuk ketiga kali, 1996. “Semua gaya mengadopsi sepenuhnya pada komik Jepang. Mata yang membelalak dan bidang gambar yang bersih tanpa arsiran memenuhi ruang gambar, teks yang pendek. Hans Jaladara yang jago dalam detail dan imajinasi, seperti pelukis yang dikebiri,” kecam Seno.
“Tak ada lagi pendekar bercaping yang berjalan di lembah sunyi, rimbun dan berkabut, yang memberi perasaan teduh. Tak ada lagi gerobak eksotik yang berderak lambat di tengah padang rumput atau tepi jurang. Juga pertarungan yang artistik dalam siluet hitam membayang. Tak ada lagi drama. Ibarat kata, Panji Tengkorak cuma tinggal tengkorak, tanpa daging, apalagi nyawa. Yang tersisa hanya kostum genit dari pertunujukan yang gagal!”
Pengakuan Hans: semua atas pesanan penerbit.
Perubahan drastis itu tetap saja tak berpengaruh apa-apa pada pasar. Komik itu tak juga laku, apalagi meledak. Inilah yang dinilai Seno, kesalahan kategoris dalam “mengangkat kembali” komik Indonesia. Karena komik kemudian berubah mengikuti selera pasar, bukan kembali ke asalnya, artistik semula, dengan strategi pasar yang baru. Untunglah, telah ada penerbit dari Yogya, yang akan menerbitkan serial Panji dalam bentuk aslinya.
Kelesuan komik itu membuat Hans berusaha menaikkan profesi, jadi pelukis. Tapi sudah terlambat. Beberapa kali mengikuti pameran, nasibnya tak kunjung beranjak. Ia datang di saat yang tak tepat, ketika booming lukisan sudah redup, tak seperti di awal 1990-an.
Kini, sejak 1995 ia kembali ke Jakarta, menempati rumah di kawasan Lippo Cikarang, 30 kilometer sebelah timur Jakarta. Ia masih aktif berkomik di majalah Kita, mengasuk rubrik “Mari Menggambar bersama Pak Hans”, dan membuat serial Kita dan Tata. Tiga kali seminggu, ia mengajar menggambar di SD, SMP, dan SMU Pelita Harapan.
Apa pun kecemerlangan dan kesuraman masa komik Hans, kini, dengan tunjangan usaha istri, ia telah memiliki rumah, dan anak yang sukses bersekolah. Putrinya, Maureen Maybelle (26) sarjana sastra Inggris UKI, dan Elizabeth Visandra, masih kuliah di desain grafis Tarumanegara, mengikuti jejak ayahnya.
Hans apa boleh buat, ibarat pesilat yang telah terlanjur masuk dunia persilatan. Tak ada lagi jalan mundur. Bertarung atau mati. Maka, ia pun tetap berkelana, dalam dunia yang mulai dilupakan…. ( Sumber )
KISAH CINTA PANJI TENGKORAK :
Panji Tengkorak adalah seorang laki-laki tampan, gagah, baik hati dan jago silat. Namun sayangnya, ia kurang beruntung dalam hal percintaan. Kalau saja Panji Tengkorak adalah artis sinetron, barangkali kisahnya sudah menjadi headline di berbagai media. Sayang, Panji tengkorak hanyalah tokoh komik belaka buatan Hans Jaladara.
Saya bukan penggila komik, apalagi komik silat. Kisah Panji Tengkorak pertama kali saya baca dalam kumpulan cerpen “Iblis Tidak Pernah Mati” karya Seno Gumira Ajidarma. Dalam kumpulan cerpen itu, Seno menulis kembali cerita komik Panji Tengkorak dengan konteks berbeda dengan judul “Partai Pengemis.” SGA juga pernah menulis ulang cerita komik tersebut dalam kumpulan cerpen “Negeri Kabut” dengan judul “Panji Tengkorak Menyeret Peti.” Ketertarikan Seno terhadap komik ini berpuncak pada penelitian disertasinya di Universitas Indonesia tentang metamorfosa dalam tiga versi komik Panji Tengkorak dari masa ke masa.
Karena penasaran dengan “referensi” mas Seno ini (sebab beliau tampak cinta mati sama komik ini), akhirnya saya mencari-cari komik Panji Tengkorak yang ternyata sudah sulit ditemukan di toko buku. Dalam “Partai Pengemis”, ada tokoh perempuan bernama Walet Merah yang merupakan adik dari Mariani, pendekar silat dari perguruan Teratai Merah.
Mariani adalah kekasih Panji Tengkorak (kisah cintanya agak rumit, akan saya ceritakan nanti). Walet Merah yang berjiwa muda dan masih labil, lari dari perguruan Teratai Merah karena suatu hal. Dalam perjalanannya ia bertemu dengan Panji Tengkorak. Kisah Walet Merah adalah lanjutan dari komik Panji Tengkorak yang masih bisa saya temukan di toko buku Gramedia, karena terakhir diterbitkan tahun 1996 oleh penerbit Elex. Saya pun segera membeli 9 edisi komik Walet Merah dan keasikan membacanya. Namun, sampai saat ini saya belum pernah membaca kisah Panji Tengkorak yang asli sebab belum berhasil menemukan komiknya. Bagaimanapun, secara cukup mendalam saya memahami cerita Panji Tengkorak dari cerpen-cerpen Seno dan serpihan puzzle dari lanjutan kisahnya di Walet Merah.
Kembali ke kisah cinta Panji Tengkorak yang rumit, misteri asmara Panji Tengkorak tidak kunjung diselesaikan dengan “tuntas” oleh Hans Jaladara dalam Walet Merah. Panji Tengkorak, seperti sebelumnya telah saya katakan, amatlah tidak beruntung dalam urusan asmara. Ia terpaksa terpisah dari Mariani, cinta sejatinya, gara-gara terlanjur bersumpah pada Nesia, gadis cantik yang cinta mati pada Panji. Nesia, dalam keadaan sekarat dan dibutakan oleh cinta, meracuni Mariani agar Panji mau bersumpah untuk mencintainya, selalu berada di sampingnya dan tidak akan berpaling pada perempuan lain.
Panji yang kala itu hanya memikirkan keselamatan Mariani, buru-buru mengiyakan saja permintaan Nesia. Akhirnya Nesia, sebelum mati di pelukan Panji, memberi penawar racun untuk Mariani. Mariani pun pulih, namun Panji yang terlanjur bersumpah pada Nesia akhirnya memilih untuk merantau, pergi meninggalkan Mariani cinta sejatinya. Kemanapun Panji pergi, ia menyeret peti mati Nesia sebagai bukti akan sumpahnya sebagai pendekar sejati. Di kemudian hari, atas saran seseorang, Panji membakar peti mati Nesia dan menyimpan abunya dalam liontin sebuah kalung yang selalu dipakainya. Namun sampai kapanpun jua, cinta Panji dan Mariani selalu menjadi sebuah roman kasih tak sampai.
Saya pikir kisah asmara Panji Tengkorak memang akan berakhir tragis seperti Romeo dan Juliet. Namun ternyata saya salah. Baru saja kemarin saat sedang melihat-lihat buku di Gramedia, saya tak sengaja melihat “Kumpulan Cergam Kampungan” terbitan ruangrupa. Saya tidak bisa menceritakan keseluruhan isi buku tersebut, karena buku itu tidak saya beli, melainkan sekedar baca di tempat. Dalam kumpulan cergam itu, terdapat komik karangan Hans Jaladara dengan judul “Cinta di Senja Hari”. Ah, jangan-jangan inilah akhir kisah cinta Panji Tengkorak. Saya super penasaran dan segera membacanya. Ternyata benar, di sinilah, di kumpulan cergam Kampungan inilah Hans Jaladara menorehkan akhir kisah cinta Panji dan Mariani.
Saya buru-buru membacanya. Dan jujur, saya kecewa. Saya tidak tahu, apakah karena judulnya “Kumpulan Cergam Kampungan” jadi konsep ceritanya memang harus kampungan? Saya belum mencari tahu lebih lanjut tentang proyek ruangrupa yang satu ini. Yang pasti, “Cinta di Senja Hari”, sebagai akhir dari kisah percintaan Panji Tengkorak dan Mariani yang sangat rumit dan berliku-liku, terlalu disederhanakan. Dalam cergam ini dikisahkan, bahwa suatu ketika, adalah seorang pemuda bernama Dago (kalau tidak salah), seorang pendekar muda dari Perguruan Tujuh Bintang yang tak sengaja menemukan topeng dan sapu tangan pemberian Mariani milik Panji Tengkorak. Dago, yang telah mengetahui kisah legendaris Panji Tengkorak di dunia persilatan, penasaran dan ingin mengembalikan barang-barang itu kepada empunya.
Dari pesan yang ditulis Mariani di sapu tangan itu, Dago tahu bahwa Mariani adalah murid di perguruan Teratai Merah. Dago pun mencari perguruan tersebut dan menemukan Mariani. Dago pun bertanya pada Mariani sekiranya ia tahu dimana Panji sekarang berada. Mariani, yang kini adalah seorang pertapa terpana mengetahui bahwa sapu tangan yang dulu ia berikan masih disimpan oleh Panji, walaupun kini tercecer. Namun Mariani tidak tahu dimana Panji berada. Dago pun pamit dari Perguruan Teratai Merah, dan tiba-tiba saja kabut tebal mengitarinya dan dari balik kabut itu munculah sosok yang dicari-carinya: sang legenda dunia silat: Panji Tengkorak.
Dago langsung menyampaikan maksudnya untuk mengembalikan topeng tengkorak dan sehelai sapu tangan. Ia juga bercerita tentang pertemuannya dengan Mariani. Sampai di sini, untuk mempersingkat tulisan ini, Dago tiba-tiba menasehati Panji Tengkorak untuk kembali pada Mariani. Panji menceritakan mengapa ia tidak bisa melakukannya, dan Dago, dengan sangat klise menyarankan Panji untuk segera menemui Mariani.
Begitulah, akhirnya Panji menemui cinta sejatinya di Perguruan Teratai Merah. Mereka berpelukan mesra, karena rindu yang amat mendalam. Yang menarik, akhir cerita ini tidak ditutup dengan kisah yang terlalu sempurna, karena tiba-tiba munculah guru Mariani yang marah-marah karena harusnya Mariani tidak boleh bertemu dengan Panji karena ia saat iniadalah seorang pertapa.
Seperti saya katakan, walaupun amat penasaran dengan akhir kisah cinta Panji dan Mariani, saya tidak menyangka bahwa kisah cinta mereka akan berkahir dengan sangat klise. Banyak pula celah-celah aneh dalam kisah ini, seperti misalnya kenapa Panji yang sangat tinggi ilmu silatnya bisa kehilangan topeng dan sapu tangannya, atau kenapa Dago tiba-tiba bisa bertemu Panji dengan sangat ajaib. Penyelesaian kisah cinta ini terlalu sederhana dan klise dibanding kisah petualangan Panji sebelumnya yang berliku-liku, rumit namun tetap memiliki alasan rasional.
Entahlah, apakah kisah ini adalah salah satu efek dari metamorfosa komik Panji Tengkorak sebanyak tiga kali, yang ternyata bukan saja berubah dalam cara menggambar tapi juga dari segi penulisan cerita. Mengutip SGA untuk menutup tulisan ini :
“Tak ada lagi pendekar bercaping yang berjalan di lembah sunyi, rimbun dan berkabut, yang memberi perasaan teduh. Tak ada lagi gerobak eksotik yang berderak lambat di tengah padang rumput atau tepi jurang. Juga pertarungan yang artistik dalam siluet hitam membayang. Tak ada lagi drama. Ibarat kata, Panji Tengkorak cuma tinggal tengkorak, tanpa daging, apalagi nyawa. Yang tersisa hanya kostum genit dari pertunjukan yang gagal!” ( Sumber )