Ngono Yo Ngono Tapi Ojo Ngono |
GUYONAN SAUNTARA ....
Jam uwis setengah rolas....
Bagong isik enak-enakan mlungker ndukure kasur...
Ngorok'e mbekar-mbekur bantere ngalahno unine speaker langgar sing ngumandangno puji-pujian...
Sing nandak'no dino ngincak wayah beduk...
Anak'e sing playon njero omah....
Eker sak karepe dewe....
Bengak-bengok koyok lampor....
Ora isok nangekno turu'ne Bagong.
Yuk Nem bojone Bagong mung isok mbesengut karo ngulek bumbu...
Motone bolak-balik mendelik...
Ndelok Bagong sing isik wae enak-enakan turu ora weruh wektu...
Sing wedok soro ngopeni anak lan omah....
Dewek'ne (bagong) malah enak-enakan njebablah ....
(Gremenganane atine Yuk Nem sing diganduli anak'e Bagong sik isik cilik lan menthil...)
Yuk Nem olehe olah-olah ambek mangkel...
Sakben nyandak perkakas masak pathing kemlontang unine...
Unchal kono.... unchal kene....
Sembarang diunekno supoyo Den Bagus Bagong ndang tangi saka "tapa brata-ne"...
Tapi.....!! Bur......, Isik ora ngefek opo-opo....
Bagong malah melungkeri gulinge...
Sangking pegele Yuk Nem...
Amerga uwis pekoh oleh kesel ngurusi iki-iku....
Panci sing isine banyu kora-koraan digerujuk'no Bagong....
Bagong kelagepen tangi kaget...
Motone mendelik ndelok Yuk Nem sing uwis wani nyiram awake...
Cangkeme mulai siaran...
"Juancoook....!!
Koen opo ora weruh lek aku isik ngantuk tah Nem....!!
Kok tego mentolo koen nyiram aku banyu kora-koraan...!!
Yuk Nem mbalik serangan....
"Matamu iku opo nggak ndelok tah Cak...!!
Koen enak-enakan mlungker ora gelem tangi....
Wong wedhok nyungsang njempalik ngopeni omah....!!
Poso yoo...poso Cak....!! Tapi yoo ojok dadi wong remek koyok ngono....!!"
Bagong mulai kalah serangan....
"Tapi...., aku isik kerinan....Nem.....!!
Soale wingi bengi keliling patrol mbugahi uwong sahur...!!"
"Olah kakek'ne sampeyan athek pokal gawe patrol iku Cak...!!
Iyoo lek jaman durung onok listrik ambek tv biyen....
Sak iki uwis maju Cak....!! Ora perlu sampeyan atek buga-buga uwong nggawe klotek'an...
Uwonge uwis podho dibuga karo ramene acara TV, suwara mercon, karo alarme HP....!!
dadi uwis ora model maneh lek Sampeyan keluyuran bengi nggowo kenthongan iku...!!"
"Lah.... karepmu koyok opo toch Nem.....?!"
(Bagong mulai ciut atine.....)
"Sopo wonge sing ora isok Cak.....!!
Poso mung isine digawe turu wae...
Tangi-tangi uwis jam setengah limo apene Maghrib...!!
Ora gelem ngewangi bojo sing nyungsang njempalik ngopeni anak ambek olah-olahan digawe buko....!!"
(Yuk Nem isik wae mbesosol ngadakno ekspansi....)
"Uwis ora tau mbelanjani wong wedhok....
Menehi duit sepuluh ewu wae...., wong wedhok dikongkon ndadekno telung ndino...
Endhi yoo cukup Kang Bagong....!!"
"Lah olehe aku nukang batu yoo mung sak mono iku Nem....!!
Ngebon nang Kang Petruk.... isik ora diwenehi...
Yoo tak jaluk kowe-ae sing sabar....!!"
(Bagong mulai lelet gaya nglemot...)
"Sabar.....Sabar.....!!
Uwis kurang sabar tach uwong koyok aku iki Cak....!!
Mbelanjani uwong wedok wis ora mbejaji....
Atek pokal gawe nggugah asu turu.....!!
Kadhung gregeten tak kletak endasmu..... sampeyan iki engkok....!!"
"Yoo..... yoo Nem...!! Gowo mreneh si-Menthil tak momonge...?!"
(Rayu Bagong ambek ngranggeh anake sing cilik)
"Kasep....!! (Auman Yuk Nem ndondono kerenge....}
Uwis nang mbadog (mangan) kono....!!
Percuma .... Posomu uwis batal....!!
Poso kok ngawekno pegele uwong wedhok....!!"
"Buko maksudmu Nem.....??"
(Bagong apen-apen ngoblogki....)
"Yooo...., ndang mangan sego kerene mau bengi iku....!!"
"Lha... lawuhne opo Nem....!!"
"Lawuh sandal klompen nang mburi iko krokotono....!!"
(Sauran Yuk Nem kethus......)
Bagong rasane keterak angin adem.....
Isok oleh mokel poso dino iku....
Sak-kal dewekne ngluyur nang mburi pawon.....
Mokel poso..... dadi poso bedhug...
NGAJI SAUNTARA DISIK YOO MAS....
Hal-hal yang Diangap Membatalkan Puasa
Kategori: Majalah AsySyariah Edisi 003
(ditulis oleh: Al-Ustadz Saifuddin Zuhri, Lc)
Berbicara puasa tentu tidak bisa dipisahkan dengan hal-hal yang
membatalkannya. Menjadi urgen untuk terus dikaji karena di masyarakat
juga tumbuh fikih-fikih tertentu kaitannya dengan pembatal-pembatal puasa yang sangat masyhur, namun sesungguhnya tidak dibangun di atas dalil.
Ada sejumlah persoalan yang sering menjadi perselisihan di antara
kaum muslimin seputar pembatal-pembatal puasa. Di antaranya memang ada
yang menjadi permasalahan yang diperselisihkan di antara para ulama.
Namun ada pula hanya sekadar anggapan yang berlebih-lebihan dan tidak
dibangun di atas dalil.
Melalui tulisan ini akan dikupas beberapa permasalahan yang oleh sebagian umat dianggap sebagai pembatal puasa namun sesungguhnya tidak demikian. Keterangan-keterangan yang dibawakan nantinya sebagian besar diambilkan dari kitab Fatawa Ramadhan—cetakan pertama dari penerbit Adhwa’ as-Salaf—yang berisi kumpulan fatwa para ulama seperti asy-Syaikh Ibnu Baz, asy-Syaikh al-‘Utsaimin, asy-Syaikh Shalih al-Fauzan, dan lain-lain rahimahumullahu ajma’in.
Di antara faedah yang bisa kita ambil dari kitab tersebut adalah:
1. Bahwa orang yang melakukan pembatal-pembatal puasa dalam keadaan lupa, dipaksa, dan tidak tahu dari sisi hukumnya, tidaklah batal puasanya. Begitu pula orang yang tidak tahu dari sisi waktunya, seperti orang yang menunaikan sahur setelah terbit fajar dalam keadaan yakin bahwa waktu fajar belum tiba.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin t setelah menjelaskan tentang pembatal-pembatal puasa, berkata, “Pembatal-pembatal ini akan merusak puasa, namun tidak merusaknya kecuali memenuhi tiga syarat: mengetahui hukumnya, ingat (tidak dalam keadaan lupa), dan bermaksud melakukannya (bukan karena terpaksa).”
Kemudian beliau t membawakan beberapa dalil. Di antaranya hadits yang menjelaskan bahwa Allah l telah mengabulkan doa yang tersebut dalam firman-Nya:
“Ya Allah, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kalau kami salah (karena tidak tahu).” (al-Baqarah: 286)
(Hadits yang menjelaskan hal tersebut ada di Shahih Muslim).
Begitu pula ayat ke-106 di dalam surat an-Nahl yang menjelaskan tidak berlakunya hukum kekafiran terhadap orang yang melakukan kekafiran karena dipaksa. Maka hal ini tentu lebih berlaku pada permasalahan yang berhubungan dengan pembatal-pembatal puasa. (Fatawa Ramadhan, 2/426—428)
Yang dimaksud oleh asy-Syaikh al-‘Utsaimin t adalah apabila orang tersebut benar-benar tidak tahu dan bukan orang yang tidak mau tahu, wallahu a’lam. Sehingga orang yang merasa dirinya teledor atau lalai karena tidak mau bertanya, tentu yang lebih selamat baginya adalah mengganti puasanya atau ditambah dengan membayar kaffarah bagi yang terkena kewajiban tersebut. (Lihat fatwa asy-Syaikh Ibnu Baz t di dalam Fatawa Ramadhan, 2/435)
2. Orang yang muntah bukan karena keinginannya (tidak sengaja)
tidaklah batal puasanya. Hal ini sebagaimana tersebut dalam hadits:
مَنْ ذَرَعَهُ قَيْءٌ وَهُوَ صَائِمٌ فَلَيْسَ عـَليَهِ قَضَاءٌ، وَإِنِ اسْـتَقَاءَ فَلْيَـقْضِ
“Barang siapa yang muntah karena tidak disengaja, maka tidak ada kewajiban bagi dia untuk mengganti puasanya. Dan barang siapa yang muntah dengan sengaja maka wajib baginya untuk mengganti puasanya.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan yang lainnya, disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani t di dalam al-Irwa’ no. 930)
مَنْ ذَرَعَهُ قَيْءٌ وَهُوَ صَائِمٌ فَلَيْسَ عـَليَهِ قَضَاءٌ، وَإِنِ اسْـتَقَاءَ فَلْيَـقْضِ
“Barang siapa yang muntah karena tidak disengaja, maka tidak ada kewajiban bagi dia untuk mengganti puasanya. Dan barang siapa yang muntah dengan sengaja maka wajib baginya untuk mengganti puasanya.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan yang lainnya, disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani t di dalam al-Irwa’ no. 930)
Oleh karena itu, orang yang merasa mual ketika dia menjalankan puasa, sebaiknya tidak memuntahkan apa yang ada dalam perutnya karena hal ini akan membatalkan puasanya. Jangan pula dia menahan muntahnya karena ini pun akan berakibat negatif bagi dirinya. Maka biarkan muntahan itu keluar dengan sendirinya karena hal tersebut tidak membatalkan puasa. (Fatawa Ramadhan, 2/481)
3. Menelan ludah tidaklah membatalkan puasa. Asy-Syaikh Ibnu Baz t
berkata, “Tidak mengapa untuk menelan ludah. Saya tidak melihat adanya
perselisihan ulama dalam hal ini, karena hal ini tidak mungkin untuk
dihindari dan akan sangat memberatkan. Adapun dahak, wajib untuk
diludahkan apabila telah berada di rongga mulut dan tidak boleh bagi
orang yang berpuasa untuk menelannya karena hal itu memungkinkan untuk
dilakukan dan tidak sama dengan ludah.”
4. Keluar darah bukan karena keinginannya seperti luka, atau karena
keinginannya namun dalam jumlah yang sedikit, tidaklah membatalkan
puasa. Asy-Syaikh al-‘Utsaimin t berkata dalam beberapa fatwanya:
a. “Keluarnya darah di gigi tidaklah memengaruhi puasa selama menjaga agar darahnya tidak tertelan….”
b. “Tes darah tidaklah mengapa bagi orang yang berpuasa, yaitu pengambilan darah untuk diperiksa jenis golongan darahnya dan dilakukan karena keinginannya, tidaklah mengapa….”
c. “Pengambilan darah dalam jumlah yang banyak jika berakibat sama dengan melakukan berbekam, seperti menyebabkan lemahnya badan dan membutuhkan zat makanan, maka hukumnya sama dengan berbekam (yaitu batal puasanya)….” (Fatawa Ramadhan, 2/460—466)
a. “Keluarnya darah di gigi tidaklah memengaruhi puasa selama menjaga agar darahnya tidak tertelan….”
b. “Tes darah tidaklah mengapa bagi orang yang berpuasa, yaitu pengambilan darah untuk diperiksa jenis golongan darahnya dan dilakukan karena keinginannya, tidaklah mengapa….”
c. “Pengambilan darah dalam jumlah yang banyak jika berakibat sama dengan melakukan berbekam, seperti menyebabkan lemahnya badan dan membutuhkan zat makanan, maka hukumnya sama dengan berbekam (yaitu batal puasanya)….” (Fatawa Ramadhan, 2/460—466)
Maka, orang yang keluar darahnya akibat luka di giginya baik karena dicabut atau karena terluka giginya tidaklah batal puasanya. Namun dia tidak boleh menelan darah yang keluar itu dengan sengaja. Begitu pula orang yang dikeluarkan sedikit darahnya untuk diperiksa golongan darahnya tidaklah batal puasanya. Kecuali bila darah yang dikeluarkan dalam jumlah yang banyak sehingga membuat badannya lemah, maka hal tersebut membatalkan puasa sebagaimana orang yang berbekam (yaitu mengeluarkan darah dengan cara tertentu dalam rangka pengobatan).
Meskipun terjadi perbedaan pendapat yang cukup kuat dalam masalah ini, namun yang menenangkan tentunya adalah keluar dari perbedaan pendapat. Maka bagi orang yang ingin melakukan donor darah, sebaiknya dilakukan di malam hari, karena pada umumnya darah yang dikeluarkan jumlahnya besar. Kecuali dalam keadaan yang sangat dibutuhkan, maka dia boleh melakukannya di siang hari. Namun yang lebih hati-hati adalah agar dia mengganti puasanya di luar bulan Ramadhan.
5. Pengobatan yang dilakukan melalui suntik, tidaklah membatalkan
puasa, karena obat suntik tidak tergolong makanan atau minuman. Berbeda
halnya dengan infus, maka hal itu membatalkan puasa karena berfungsi
sebagai zat makanan. Begitu pula pengobatan melalui tetes mata atau
telinga tidaklah membatalkan puasa kecuali bila dia yakin bahwa obat
tersebut mengalir ke kerongkongan. Terdapat perbedaan pendapat, apakah
mata dan telinga merupakan saluran ke kerongkongan sebagaimana mulut dan
hidung, ataukah bukan.
Namun wallahu a’lam, yang benar adalah bahwa
keduanya bukanlah saluran yang akan mengalirkan obat ke kerongkongan.
Maka obat yang diteteskan melalui mata atau telinga tidaklah membatalkan
puasa. Meskipun bagi yang merasakan masuknya obat ke kerongkongan tidak
mengapa baginya untuk mengganti puasanya agar keluar dari perselisihan.
(Fatawa Ramadhan, 2/510—511)
6. Mencium dan memeluk istri tidaklah membatalkan puasa selama
tidak keluar air mani meskipun mengakibatkan keluarnya madzi. Rasulullah
n bersabda dalam sebuah hadits sahih yang artinya, “Dahulu Rasulullah n
mencium (istrinya) dalam keadaan beliau berpuasa dan memeluk (istrinya)
dalam keadaan beliau puasa. Akan tetapi beliau adalah orang yang paling
mampu menahan syahwatnya di antara kalian.” (Lihat takhrijnya dalam
kitab al-Irwa’, hadits no. 934)
Akan tetapi bagi orang yang mengkhawatirkan keluarnya mani dan terjatuh pada perbuatan jima’ karena syahwatnya yang kuat, maka yang terbaik baginya adalah menghindari perbuatan tersebut. Karena puasa bukanlah sekadar meninggalkan makan atau minum, tetapi juga meninggalkan syahwatnya. Rasulullah n bersabda:
…يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِي…
“(Orang yang berpuasa) meninggalkan syahwatnya dan makannya karena Aku (Allah l).” (Sahih, HR. Muslim)
Beliau n juga bersabda:
دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيْبُكَ
“Tinggalkan hal-hal yang meragukan kepada yang tidak meragukan.” (HR. at-Tirmidzi dan an-Nasa’i, dan At-Tirmidzi berkata, “Hadits hasan shahih.” Dan disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani di al-Irwa’)
7. Bagi laki-laki yang sedang berpuasa diperbolehkan untuk keluar
rumah memakai wewangian. Namun bila wewangian itu berasal dari suatu
asap atau semisalnya, maka tidak boleh untuk menghirup atau mengisapnya.
Juga diperbolehkan baginya untuk menggosok giginya dengan pasta gigi
kalau dibutuhkan. Namun dia harus menjaga agar tidak ada yang tertelan
ke dalam kerongkongan, sebagaimana diperbolehkan bagi dirinya untuk
berkumur dan memasukkan air ke hidung dengan tidak terlalu kuat agar
tidak ada air yang tertelan atau terhisap.
Namun seandainya ada yang
tertelan atau terhisap dengan tidak sengaja, tidaklah membatalkan puasa.
Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits, “Bersungguh-sungguhlah
dalam istinsyaq (menghirup air ketika berwudhu) kecuali jika engkau
sedang berpuasa (maka tidak perlu bersungguh-sungguh).” (HR. Abu Dawud,
1/132, dan at-Tirmidzi, 3/788, an-Nasa’i, 1/66, dan disahihkan oleh
asy-Syaikh al-Albani di al-Irwa’, hadits no. 935)
8. Diperbolehkan bagi orang yang berpuasa untuk menyiram kepala
dan badannya dengan air untuk mengurangi rasa panas atau haus. Bahkan
boleh pula untuk berenang di air dengan selalu menjaga agar tidak ada
air yang tertelan ke kerongkongan.
9. Mencicipi masakan tidaklah membatalkan puasa, dengan menjaga jangan sampai ada yang masuk kerongkongan. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Abbas c dalam sebuah atsar,
“Tidak apa-apa bagi seseorang untuk mencicipi cuka dan lainnya yang akan
dia beli.” (Atsar ini dihasankan asy-Syaikh al-Albani di al-Irwa’ no.
937)
Demikian beberapa hal yang bisa kami ringkaskan dari penjelasan para
ulama. Yang paling penting bagi setiap muslim, adalah meyakini bahwa
Rasulullah n tentu telah menjelaskan seluruh hukum yang ada dalam
syariat Islam ini. Maka, kita tidak boleh menentukan sesuatu itu
membatalkan puasa atau tidak dengan perasaan semata. Bahkan harus
mengembalikannya kepada dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta
penjelasan para ulama.
Wallahu a’lam bish-shawab.