Kamis, 21 April 2011

BASUKARNA GUGUR


CERITA WAYANG SINGKAT :
KELAHIRAN BASUKARNA :
Sura, kakek Sri Krisna, adalah keturunan terhormat wangsa Yadawa. Putrinya, Pritha, terkenal berkat kecantikan dan kebaikan budinya. Karena sepupunya Kuntibhoja tidak memiliki anak, Sura memberikan Pritha untuk dijadikan anak angkat. Sejak saat itulah, Pritha dikenal sebagai Dewi Kunti, mengikuti nama ayah angkatnya.
Ketika Dewi Kunti masih kecil, Resi Durwasa tinggal cukup tinggal cukup lama di rumah ayah angkatnya. Dewi Kunti melayani resi itu dengan penuh perhatian, kesabaran, dan bakti. Resi Durwasa sangat senang dengan sikap Dewi Kunti yang penuh perhatian, sehingga ia menghadiahkan mantra sakti kepada putri kecil itu. Katanya: “Dengan mantra ini, engkau bisa memanggil dewa, siapa pun dia. Ia akan muncul dihadapanmu dan memberimu seorang anak yang mempunyai keagungan sepertinya.” Resi Durwasa menghadiahi putri kecil mantra itu karena ia dengan kekuatan yoganya bisa meramalkan bahwa kelak putri itu akan mengalami nasib buruk dengan suaminya.
Karena sangat ingin tahu, suatu hari ia mencoba mantra sakti itu. Dia mengucapkan mantra dan memanggil Batara Surya yang sedang memancarkan cahayanya dari kahyangan. Tiba-tiba langit menjadi gelap tertutup awan. Kemudian, dari balik awan muncullah Batara Surya dari balik awan. Dewa itu menatap takjub pada kecantikan Dewi Kunti dan bergairah. Dewi Kunti yang terpesona oleh kekuatan gaib dan kewibawaan tamu agungnya bertanya: “Siapkah yang mulia?”
Batara Surya menjawab: “Wahai putri yang cantik, akulah Dewa Matahari. Engkau memanggilku dengan mantra pemberi anak yang engkau ucapkan.”
Kunti sangat terkejut dan berkata: “Hamba seorang gadis dan belum menikah. Hamba belum siap untuk menjadi ibu. Hamba hanya ingin mencoba mantra yang diberikan Resi Durwasa. Hamba mohon paduka kembali ke khayangan. Maafkan kebodohanku.” Namun demikian, Batara Surya tak dapat kembali karena keatan sakti mantra itu.
Singkat cerita, akhirnya Dewi Kunti mengandung anak Batara Surya. Tidak seperti manusia biasa yang butuh waktu 9 bulan untuk melahirkan, tapi karena ini kehamilan yang bersifat keilahian maka Dewi Kunti pun melahirkan seketika itu juga.
Kunti melahirkan Karna yang lahir lengkap dengan perangkap senjata perang yang suci, hiasan telinga. Anak itu tampan dan tampan seperti dewa matahari. Kelak, ia akan menjadi salah satu pahlawan besar dunia.
Kunti kebingungan dengan apa yang harus dilakukan dengan anak itu. Untuk menghindari rasa malu, Kunti menaruh anak itu ke dalam kotak yang tertutup rapat dan menghanyutkannya di sungai. Kebetulan seorang sais yang tidak punya anak melihat kotak yang terhanyut arus sungai itu. Ia mengambil kotak itu dan membukanya. Ia sangat terkejut dan gembira ketika mendapati seorang bayi tampan di kotak itu. Ia segera menyerahkan kepada istrinya. Sang istri menerimanya dengan kasih ibu yang melimpah.
Demikianlah, Karna putra Batara Surya yang tampan itu akhirnya diasuh dan dibesarkan oleh keluarga sais kereta kuda…

BASUKARNA GUGUR :
Setelah Durna gugur, para senapati bala tentara Kurawa mengangkat Karna sebagai mahasenapati. Karna berdiri di atas kereta kuda yang megah dengan Salya sebagai sais. Rasa percaya diri dan kemashyuran Karna sebagai kesatria membangkitkan semangat tempur pasukan Kurawa. Perang dimulai lagi.
Para ahli perbintangan dimintai nasihat dan para Pandawa menentukan waktu yang tepat untuk bertempur. Arjuna memimpin serangan pada Karna. Bima menyusul di belakangnya. Dursasana memusatkan serangan pada Bima. Ia lepaskan hujan panah kepada Bima. Bima tertawa kecil menyambut serangan itu. Katanya dalam hati: “Kesempatan ini tidak boleh aku sia-siakan. Akan kutuntaskan sumpahku pada Drupadi hari ini. Aku sudah menunggu kesempatan ini lama sekali.”
Bima terbayang kembali penghinaan yang dilakukan Dursasana pada Drupadi. Amarahnya meluap-luap tak terkendali. Ia buang senjata dan melompat ke arah kereta Dursasana dan menerkam Dursasana seperti harimau. Dursasana dilemparkan ke tanah dan badannya remuk redam. Ia patahkan tangan Dursasana dan ia lemparkan tubuh yang bersimbah darah itu ke tengah arena. Kemudian, ia memenuhi sumpah mengerikan yang dia ucapkan 13 tahun yang lalu. Dia hisap dan minum darah Dursasana seperti binatang buas memangsa korban.
Kejadian yang mengerikan itu membuat gemetar semua yang melihat. Bahkan Karna, sang kesatria besar itu pun kecut hatinya melihat Bima menuntaskan dendam kesumatnya.
Sementara itu di arena yang lain pun pertempuran tak kalah hebatnya. Karna putra Batara Surya melepaskan panah api ke arah Arjuna. Panah itu meluncur ke arah Arjuna seperti ular yang menjulurkan lidah bercabang api. Persis pada saat itu, Khrisna menghentakkan tali kekang dan memutar kereta hingga terperosok ke dalam lumpur. Panah Karna mendesing. Hampir saja mengenai kepala Arjuna dan mengenai mahkota senapati yang dipakai Arjuna. Mahkota itu tersentak dan jatuh ke tanah. Wajah Arjuna merah karena malu dan amarah. Ia segera pasangkan anak panah di busur Gandewa untuk menamatkan Karna. Dan detik-detik kematian Karna sudah menjelang. Seperti yang sudah diramalkan sebelumnya, roda kiri kereta Karna tiba-tiba terperosok ke dalam lumpur. Ia segera melompat dari keretanya untuk mengangkat rodanya.
Teriak Karna: “Tunggu! Keretaku masuk ke dalam lumpur. Kesatria besar sepertimu tidak akan memanfaatkan kecelakaan ini. Aku akan betulkan keretaku dahulu dan kita bertarung kembali.”
Arjuna ragu-ragu. Sementara itu Karna menjadi sedikit panik karena kecelakaan kecil itu. Ia menjadi ingat kutukan yang diucapkan kepadanya. Sekali lagi, ia meminta Arjuna untuk bersikap ksatria.
Krishna menyela: “Hai, Karna! Bagus engkau masih ingat hal ikhwal bersikap kesatria! Ketika dalam kesulitan engkau baru ingat nilai-nilai kesatria. Tapi ketika kau dan Duryudana, Dursasana serta Sengkuni menyeret Drupadi ke ruang pertemuan dan mempermalukannya, mengapa engkau melupakan nilai-nilai itu? Engkau turut berperan membantu menipu Dharmaputra, yang memang suka bermain dadu tapi kurang berpengalaman. Pada saat itu dimanakah sikap kesatriamu? Apakah artinya sikap kesatria ketika kalian mengeroyok dan membunuh Abimanyu beramai-ramai? Hai, manusia jahat jangan berbicara sikap kesatria karena engkau tidak pernah bersikap kesatria!”
Ketika Krishna mencela Karna habis-habisan dan mendesak Arjuna untuk segera menghabisinya, Karna hanya bisa menundukkan kepala dan tidak bisa berkata-kata. Tanpa suara, ia naik ke atas kereta dan membiarkan roda keretanya terbenam dalam lumpur. Ia segera lepaskan panah ke arah Arjuna. Untuk sesaat, Arjuna terhenyak. Dengan cepat Karna memanfaatkan kesempatan itu untuk membetulkan kereta kudanya. Tapi tampaknya takdir sudah memutuskan dan nasib baik pun menjauh dari kesatria besar itu. Roda itu sama sekali tidak bergeming, meskipun kesatria besar itu sudah mengerahkan seluruh tenaga. Kemudian, dia mencoba mengingat mantra Brahmastra pemberian Parasurama. Tapi, persis pada saat yang sangat dia butuhkan, seperti yang diramalkan Parasurama, Karna tidak bisa mengingat mantra itu.
Seru Krishna: “Arjuna, jangan buang-buang waktu. Lepaskan panahmu dan bunuh manusia jahat itu!”
Arjuna ragu-ragu. Tangannya tidak yakin untuk melakukan tindakan yang tidak mencerminkan sikap ksatria itu. Tapi ketika Krishna berkata: “Arjuna, melaksanakan kehendak yang maha kuasa dan melepaskan panah yang mengena dan melukai kepala Karna.” sang begawan tak sampai hati menghubungkan tindakan tidak kesatria ini dengan Arjuna yang merupakan perwujudan keluhuran budi. Krishna lah yang menyuruh Arjuna menghabisi Karna ketika ia berusaha mengangkat roda dari lumpur. Menurut tata krama perang, tindakan tersebut tidak dibenarkan, tapi siapa yang bisa mengelak dari takdirnya? Akhirnya Arjuna melepaskan panahnya dan tepat mengenai kepala Karna. Karna pun tewas ditangan Arjuna. Sumber : click here
Salah Satu Lakon Dalam Cerita Pewayangan :
Judul : PRASETYA BASUKARNA
[Ketika mendekati Setyaki yang tengah duduk bersila di tempat kusir kereta Kyai Jaladara, Sri Kresna melihat Raja Awangga lewat. Maka ia segera mengejarnya sampai ke tepi bengawan Yamuna.] “Adik Basukarna, saya yang datang, Dik.”
“Wah, silakan Kakak Prabu, hamba menghaturkan selamat Paduka telah berhasil menyebabkan para Kurawa gemetar ketakutan, Kakak Prabu. Hamba menghaturkan takzim…”
“Wee lha, belum-belum diriku ini sudah disindir oleh Raja Ngawangga… hehehe… tidak, Adik hendak pergi ke mana?”
“Kakak Prabu, karena pengabdian hamba sudah tidak diperlukan, hamba akan mengheningkan cipta di tepi Bengawan Yamuna, Kakak Prabu. Seperti yang sudah-sudah. Hamba akan bersamadi di tempat dahulu Ibunda Rada mengangkat kotak mulia yang berisi jabang bayi bernama Suryatmaja, Kakak Prabu.”
“O, begitu… ya sudah, silakan… Tapi boleh ‘kan saya mengiringkan Adik Prabu, sambil berbicara mewakili adik-adikku para Pandawa?”
“Pembicaraan yang bagaimana lagi? Bukankah yang jelas adik-adik hamba para Pandawa nanti akan memperoleh kemuliaan kembali dalam bentuk negara Ngastina Separuh?”
“Ya, sekehendakmulah… mari saya temani naik kereta Kyai Jaladara ini….”
[Kedua orang besar itu pergi ke tepi sungai Yamuna, dikusiri oleh Harya Setyaki. Di tempat yang biasa, Prabu Basukarna segera duduk ditemani oleh Sri Kresna.]
“Mohon maaf, adik-adik hamba Pandawa ingin berbicara bagaimana, Kakak Prabu? Apakah ingin memberikan kehormatan kepada diri hamba dengan bersemayam di salah satu kasatriyan atau wilayah perdikan Ngastina Separuh nanti, Kakak Prabu?”
“Lho, ‘kan nekat saja. Yang mau membelah dua Ngastina itu siapa?”
“Lha, tadi tentu Adik Kurupati gemetar ketakutan menyaksikan Raksasa Kesawa, lalu bersedia menandatangani Surat Pernyataan, begitu ‘kan, Kakak Prabu?”
“Wee lha, Adik ini kebablasan menghujat orang tua. Tidak ada Surat Pernyataan, Dik…. Ternyata Perang Barata akan segera berkecamuk. Oleh karena itu kakak ini mendapat pesan titipan dari Adik Darmakusuma, apabila tugasku sebagai duta gagal, agar Adik bersedia hijrah ke Wirata. Bersatu dengan adik-adik dari ibu yang sama, Dik. Adik Aji tidak tega dan tidak bersedia berperang melawan saudara tua.”
“Wah, hmmm… namanya sudah terlanjur, jadi seperti ini nasib Basukarna. Harus tega memutuskan persaudaraan secara lahiriah … Duh, Kakak Prabu, izinkan hamba menyampaikan … juga ini sebagai pesan bagi Adik Samiaji dan adik-adik hamba para Pandawa… Hamba tidak dapat memenuhi kehendak Adik Puntadewa, Kakak Prabu.”
“Lho, apa sebabnya, Dik?”
“Kakak Prabu, bila saya bersatu dengan Pandawa, saya percaya Kurupati akan membatalkan Bharatayuda. Karena, terus terang, keberanian Kurupati itu justru saya yang mengobori …”
“Lho, alasannya?”
“Hamba hanya ingin menepati janji hamba kepada yang dapat mengangkat saya ke dalam golongan kesatria. Oleh karena dulu hamba ini cuma dianggap ‘anak kusir’. Memang, hamba tidak bisa menyalahkan siapa pun; mungkin ini adalah karma yang harus hamba sandang, Kakak Prabu.”
“Oh, janji? Janji yang bagaimana, Dik?”
“Hamba ingin menepati janji dan membayar semua hutang budi hamba. Hamba bisa menjadi adipati di Ngawangga oleh karena diangkat sebagai saudara oleh Kurupati. Jadi hamba harus menjaga orang yang sudah memberi budi kepada hamba, Kakak Prabu. Juga hamba harus menepati darma ksatria untuk membasmi angkara murka …”
“Weelah …. nanti dulu. Adik ingin membalas hutang budi itu memang benar, tapi prasetyamu untuk membasmi angkara murka yang menyatu dengan Kurawa itu penalarannya bagaimana, Dik?”
[Basukarna tersenyum ... merasa dipojokkan oleh Sri Kresna. Maka ucapnya ...]
“Kakak Prabu, Kurawa itu gudangnya angkara, hampir setiap orang tahu. Sampai hamba sendiri terseret-seret dianggap pelindung angkara; ya tidak dapat hamba pungkiri, karena kenyataannya hamba ini orang Kurawa, dan juga melindungi mereka….”
“Lha, mengapa begitu?”
“Terus terang saja, Kakak Prabu … Hamba ini sudah tidak mampu mengalahkan angkara murkanya Kurawa. Tetapi hamba ini orang dalam. Yang dapat hamba lakukan tiada lain ialah mengharapkan pecahnya Baratayuda….”
“Wee lha, kalau begitu Adik tega terhadap adik-adikmu? Apa karena niatmu memang ingin perang tanding melawan Permadi?”
“Kakak Prabu, kalau perang tanding tadi mewujudkan sarana bagi janji hamba menepati ksatria hamba, di mana salahnya?”
“Apakah Adik tidak menyadari dan tahu bahwa Pandawa itu tidak berani cperang tanding melawan Adik?”
“Seribu maaf … Derajat Basukarna itu apa dibandingkan Sang Mahatma Bisma…. Padahal apabila Baratayuda pecah, mau tidak mau Mahatma Bisma, Guru Drona, Kripa, juga akan berhadap-hadapan dengan para Pandawa, Kakak Prabu…. Apakah Kakak Prabu mengkhawatirkan bahwa Pandawa akan kalah perang melawan hamba?”
“Ah, siapa yang tidak tahu akan kesaktianmu, Dik…. Apa ada senjata yang mampu menembus tubuhmu?”
“Yah, berkat kewaskitaan Kakak Prabu dalam hal Aji Tirai Baja [kere waja] ini yang menyebabkan hamba mengharap-harap pecahnya Baratayuda…. Yah, oleh karena Kakak Prabu menjagoi Pandawa, hamba memastikan bahwa Baratayuda ini menjadi sarana bagi hamba mencapai swarga…. Melalui tangan Permadi itulah hamba dapat menemukan swarga, Kakak Prabu. Coba Paduka lihat, tubuh hamba ini memakai perlindungan apa?”
“Aaah … Adikku, Adikku …. Basukarna…! Begitu luhur budimu terhadap adik-adikmu pribadi yang sayangnya tidak memahami dirimu…. Duh, Dik….sungguh berat karmamu …. Saya hanya turut memohonkan kasih sayang dewata agar terlaksana prasetyamu, Dik…. Kakak mohon pamit….”
[Berlinang air mata Sri Batara Kresta ketika melihat Basukarna sudah tidak mengenakan busana 'Tirai Baja'.] Sumber info : click here