LEGENDARIS :
Di Demak ada dalang wayang kulit Ki Bicak. Istrinya cantik sekali. Ia ditanggap oleh Ki Ageng Sela. Kyai Ageng Sela terpikat kepada istri Ki Dalang tadi. Dalang lalu dibunuh, wayang, bendhe, serta istri semua dirampas oleh Ki Ageng Sela. Ki Ageng Sela setelah mendapatkan bendhe tak jadi senang dengan istri dalang tadi, tapi tertarik kepada bendhe itu. Bendhe tadi diberi nama Kyai Bicak lalu diperkenankan oleh Kanjeng Sunan Lepen-jaga, kalau bendhe tadi dijadikan pusaka keraton dan akan jadi tanda perang. Jika bendhe dipukul bergaung, tentu akan jaya perangnya; jika dipukul tidak berbunyi pertanda akan kalah perangnya.
Pada waktu itu Ki Ageng Sela sedang mengemban putra kecilnya di dekat tanaman waluh, Kyai Ageng memakai kain cindhe dan sabuk pengikat. Tiba-tiba ia mendengar ribut-ribut, orang-orang berteriak ada yang mengamuk. Kyai Ageng berniat akan pulang, meletakkan anaknya, tetapi orang yang mengamuk tadi keburu datang. Ia berkali-kali menusuk Ki Ageng, tetapi tidak mempan. Tiba-tiba Ki Ageng terjerat oleh pohon waluh, jatuh tengadah, kain cindhe terlepas dari badannya jadi telanjang.
Ki Ageng lalu bangun. Orang yang mengamuk itu lalu ditempeleng kepalanya sampai meninggal. Kyai Ageng lalu memberiklan prasapa, amanat. Kelak kemudian hari keturunan-keturunannya jangan ada yang memakai kain cindhe, jangan menanam waluh serta memakan buahnya.
***
Ki Ageng Sela sudah punya tujuh orang anak, semua menikah. Satu, bernama Nyai Ageng Lurung Tengah; dua, Nyai Ageng Saba; tiga, Nyai Ageng Bangsri; empat, Nyai Ageng Pakis Jati; lima, Nyai Ageng Patanen; enam, Nyai Ageng Pakis Dhadhu; tujuh, bungsunya, laki-laki bernama Kyai Ageng Ngenis. Setelah punya tujuh orang anak Kyai Ageng Sela meninggal dunia. Kyai Ageng Ngenis sudah punya seorang anak laki-laki bernama Pemanahan dan sudah dinikahkan dengan putri pertama Nyai Ageng Saba. Yang bungsu bernama Kyai juru Mertani, saudara yang menjadi ipar. Kyai Ageng Ngenis mengambil anak angkat seorang laki-laki yang masih keponakan bernama Ki Panjawi, dipersaudarakan dengan Ki Pemanahan dan Ki Juru Mertani.
Atut rukun di dalam membina persaudaraan. Ketiga orang tadi kemanapun pergi tidak pernah berpisah. Mereka bersama-sama berguru kepada Sunan Kalijaga. Bersama saudara seperguruan dengan Kanjeng Sultan Pajang. Kehendak Sunan, Sultan Pajang dipersaudarakan dengan ketiga orang tadi. Sungguh begitu baik mereka dalam membina persaudaraan, seperti saudara seayah dan seibu.
Keinginan Sultan Pajang, Ki Ageng Ngenis diminta bertempat tinggal di Lawiyan, dan ia menurut. Setelah lama, Ki Ageng meninggal dunia, juga dimakamkan di Lawiyan. Ki Pamanahan dan Ki Panjawi sudah mengabdi kepada Sultan Pajang, dijadikan lurah prajurit tamtama. Begitu dihormati pengabdiannya, dipercaya menjaga dan mengatasi keruwetan-keruwetan di Pajang serta dipanggil kakak oleh Kanjeng Sultan. Adapun Ki Juru Martani hanya mengasuh Ki Pamanahan dan Ki Panjawi. Sedang yang menjadi patih di Pajang, yaitu Ki Mas Manca dan diberi gelar Tumenggung Mancanegara. Ki Wila dan Ki Wuragil jadi bupati.
Ki Pamanahan sudah mempunyai tujuh orang anak, yang laki-laki lima orang, dua orang yang lain perempuan. Masing-masing adalah: Raden Jambu, Raden Bagus, Raden Santri, Raden Tompe, Raden Kadawung; yang perempuan menjadi istri Tumenggung Mayang, bungsunya perempuan masih kecil. Waktu itu Sultan Pajang belum berputra. Anak Ki Ageng Pamanahan yang bernama Raden Bagus dijadikan putra angkat oleh Sultan Pajang. Begitu sayangnya seperti putranya sendiri. Harapan Sultan Pajang dijadikan tuntunan agar segera berputra.
Catatan: Tulisan ini bukanlah sumber sejarah yg terpercaya scr keilmuan, namun dapat menjadi bahan kajian ilmu sejarah. Tulisan ini adalah kutipan dari Cerita Babad, yaitu Babad Tanah Jawi.
Tulisan ini dikutip dari buku naskah terjemah ke dlm Bhs Indonesia, dr terjemah ke dlm Bhs Belanda karya W.I. Olthof di Belanda tahun 1941, yaitu: Babad Tanah Jawi: Mulai dari Nabi Adam sampai Tahun 1647 S terbitan Penerbit NARASI Yogyakarta cet. IV, th. 2008; halaman 59-61.