Sabtu, 23 Januari 2010

Onok Opo Ambek Sing Jenenge Punakawan


Berikut ini adalah beberapa tulisan dalam bahasa Indonesia, mengenai artikel tentang Punakawan. Yang saya telusuri di internet. Sepertinya pantas juga bila dengan segala hormat kepada saudara : Setiabudi untuk sebagian artikelnya saya jadikan bahan referensi di blog ini.

Agar tidak ada pandangan bahwa tokoh Punakawan hanyalah sebagai bentuk penokohan yang hanya mencari permasalahan, guyonan, goro-goro saja dalam pementasan pagelaran wayang kulit ataupun wayang golek.

Lebih tepatnya, mereka dalam setiap lakon yang selalu ditampilkan oleh dalang dalam setiap pageran wayang kulit/golek adalah sebagai tokoh media yang berfungsi sebagai alat untuk mengupas permasalahan-permasalahan yang up-to date berlaku di masyarakat dengan menggunakan bahasa sederhana yang mereka miliki.

Dengan kata lain, dalang menyampaikan pesan dengan menggunakan bahasa komunikatif dari tokoh Punakawan kepada masyarakat agar dapat diterima sesuai dengan pola pikir, budaya, adat-istiadat dan perilaku sosial yang di miliki masyarakat daerah tersebut di mana pagelaran wayang itu di adakan.

Berikut ini Artikel yang saya sunting tanpa ada unsur penambahan dan pengurangan :

PUNAKAWAN SIMBOL KERENDAHAN HATI DAN PENEBAR HIKMAH

Dalam Epik Mahabarata yang diadaptasikan dalam seni wayang di Indonesia terutama Jawa, Sunda dan Bali terdapat tokoh khusus yang dinamakan Punakawan.

Para tokoh dalam kelompok Punakawan ini memiliki karakter yang menarik karena mewakili simbol kerendahhatian dan penebar hikmah.

Bahkan kebanyakan penonton pertunjukan wayang (apalagi jika all-night show) lebih menantikan tampilnya tokoh-tokoh tersebut daripada para tokoh utamanya seperti Pandawa.

Saya sendiri dari kecil menggemari tokoh Punakawan karena secara karakteristik sebenarnya mereka mewakili profil umum manusia.


Mereka adalah tokoh multi-peran yang dapat menjadi penasihat para penguasa/ksatria bahkan dewa, penghibur, kritikus hingga menjadi penyampai kebenaran dan kebajikan.

Dari mereka kita dapat banyak mengambil hikmah bahkan dengan tanpa terasa sebenarnya menertawakan diri sendiri.


Karakter Punakawan ini memang tidak ada dalam versi asli mitologi Hindu epik Mahabarata dari India. Punakawan adalah modifikasi atas sistem penyebaran ajaran-ajaran Islam oleh Sunan Kalijogo dalam sejarah penyebarannya di Indonesia terutama di Pulau Jawa. Walaupun sebenarnya pendapat ini pun masih diperdebatkan oleh banyak pihak.

Jika melihat ke biografi karakter-karakter Punakawan, mereka asalnya adalah orang-orang yang menjalani metamorfosis (perubahan karakter yang berangsur-angsur) hingga menjadi sosok yang sederhana namun memiliki kedalaman ilmu yang luar biasa.

Para dewa pun tidak ada yang berani marah kepada Bagong (wayang Jawa) atau Astrajingga/Cepot (wayang Sunda) atau Bawor (wayang Banyumas) sekalipun sosok ini sering mengkritik mereka dengan humor-humor yang sarat kebijaksanaan. Saya sendiri sering membandingkan tokoh Bagong/Astrajingga/Bawor dengan Abu Nawas atau Nashrudin dari kisah-kisah sufistik yang menyampaikan pesan-pesan bermakna secara jenaka bahkan dengan berlaku konyol sekalipun.

Selain itu dari sosok tersebut ada karakter Nala Gareng atau sering disebut Gareng saja dan tokoh Petruk (wayang Jawa) atau Dawala (wayang Sunda). Dalam cerita wayang Jawa kedua tokoh ini adalah saudara angkat yang diadopsi oleh Semar.

Antara sosok Gareng dan Petruk ini terdapat karakter yang bertolak belakang. Gareng sekalipun cerdas dan hati-hati tapi sulit menyampaikan sesuatu melalui kalimat. Berbeda dengan Petruk yang cenderung asal bicara tapi sedikit bodoh.

Bahkan dalam cerita Petruk jadi Raja, Petruk/Dawala pernah membawa kabur Pusaka Hyang Kalimusodo dari Yudistira kemudian berkuasa di Kerajaan Ngrancang Kencana dengan gelar Prabu Kantong Bolong Bleh Geduweh atau Prabu Helgeduelbek.

Dari sosok tersebut kita banyak belajar tentang bahayanya kebodohan terutama jika orang yang kurang ilmunya diberi kesempatan untuk berkuasa sehingga menyebabkan bencana di lingkungannya. (Kok jadi nyambung dengan kondisi pemerintah kita saat ini yaa.. )

Namun di sisi lain juga ternyata sungguh tidak baik jika orang-orang yang memiliki ilmu yang dalam tidak bisa menyebarkan manfaat atas hal tersebut karena keterbatasan kemampuan berkomunikasi seperti Gareng.

Sedangkan sosok Semar atau Batara Ismaya sendiri merupakan simbol atas manusia dengan kedalaman ilmu dan kearifan jiwa yang luar biasa. Sampai-sampai Batara Guru atau Manikmaya sebagai raja para dewa pun sering meminta petunjuk kepadanya.

Sebenarnya Semar dan Batara Guru adalah bersaudara kandung serta memiliki saudara lainnya yaitu tokoh Togog atau Tejamantri atau Betara Antaga. Ketiganya adalah anak-anak dari Sang Hyang Tunggal.

Proses turunnya Semar/Ismaya dan Togog/Antaga/Tejamantri ke dunia sendiri banyak memberikan pelajaran kepada kita. Diceritakan bahwa Batara Guru/Manikmaya sebagai putera bungsu Sang Hyang Tunggal merasa dirinya paling cakap dan sempurna dibandingkan kedua kakaknya. Hal ini memunculkan perasaan bahwa dirinyalah yang paling pantas meneruskan kepemimpinan ayahnya sebagai raja para dewa.

Dengan kecerdikannya (atau kelicikan?) Batara Guru mengajak Batara Ismaya dan Batara Antaga untuk berkompetisi menguji kesaktian masing-masing. Barangsiapa yang mampu menelan sebuah gunung dan memuntahkannya kembali maka dia yang berhak menjadi raja para dewa.

Karena kasih-sayang kepada adik bungsunya dan mungkin juga didorong oleh ambisi menjadi penguasa maka keduanya menyanggupi tantangan tersebut. Padahal gunung adalah simbol dari pakubumi yang menjaga kestabilan dunia dan tiang langit dan bumi. Jadi sekalipun ditelan dan dimuntahkan lagi sebenarnya hal tersebut tidak boleh dilakukan.

Perbuatan Batara Ismaya dan Batara Antaga tersebut menyebabkan Sang Hyang Tunggal marah dan menitahkan mereka untuk turun ke marcapada/mayapada/bumi yang saat itu diramalkan akan rusuh oleh pertempuran klan Pandawa dan klan Kurawa.

Menyadari kesalahannya masing-masing maka mereka turun ke bumi dimana Semar membimbing para Pandawa dan Togog membimbing para Kurawa.

Karena membimbing para Kurawa yang sering diasosiasikan dengan kejahatan maka sosok Togog dianggap punakawan yang mewakili simbol ketamakan manusia. Padahal sebenarnya dari karakter Togog kita sering mendapat petuah-petuah tentang keseimbangan berfikir dan adanya area abu-abu dalam kehidupan ini.

Sebenarnya selain tokoh-tokoh punakawan di atas masih ada sosok Bilung, Cangik dan Limbuk. Ketiganya biasanya hanya muncul di cerita wayang Jawa.

Dari sosok Bilung kita mendapatkan pelajaran untuk selalu menghargai masukan dari siapapun. Dalam cerita wayang disebutkan bahwa karakter ini adalah sahabat Togog dan sering memberikan masukan kepada tuannya. Namun jika masukannya tidak diperhatikan, Bilung akan menjerumuskan tuannya dengan memberikan masukan yang salah jika dimintai lagi pendapat.

Bilung adalah rival abadi Petruk. Setiap bertemu Bilung selalu menantang Petruk berkelahi sekalipun selalu kalah dengan sekali pukul. Sebenarnya dari sifat ini kita dapat belajar tentang kepercayaan diri dan keberanian sekalipun selalu menghadapi kekalahan.

Sedangkan karakter Cangik adalah ibunya Limbuk dimana keduanya adalah dayang para dewi atau isteri para Pandawa. Dari kedua sosok ini kita dapat belajar tentang kebesaran hati untuk menyadari kekurangan diri karena Cangik dan Limbuk sering ditampilkan sebagai wanita-wanita buruk rupa namun merasa cantik sekali.

Keterkaitan antara masing-masing karakter Punakawan dan karakter pelengkap lainnya sebenarnya banyak memberikan inspirasi bagi kita dalam menjalani hidup.

Petuah-petuah mendalam yang arif dari tokoh-tokoh tersebut sebenarnya mengajarkan filsafat kehidupan yang sudah dibentuk dan disampaikan oleh para leluhur kita sejak ribuan tahun lalu.

Sekalipun para dalang yang memainkannya berganti, nilai-nilai yang diajarkan melalui para tokoh Punakawan tersebut malah sering dibicarakan oleh para pembicara di seminar-seminar dengan biaya mahal.

Padahal cukup dengan berselimutkan sarung, segelas kopi dan ketekunan semalam suntuk dengan menonton pertunjukan wayang sudah mengajarkan banyak hal mengenai hidup kepada kita.


Sumber: Setia Budi di http ://www.setiabudi.name