Kamis, 09 Desember 2010

BASUKARNO


CERITO WAYANG SINGKAT :

Basukarna. Putra pertama Dewi Kunthi Talibrata itu terus saja menggelayut di pikiranku karena demikian manusiawinya ia. Tak seperti Wibisana dan Patih Prahasta dari Alengka, yang memilih kukuh berpijak pada pendirian sebagai pendita dan panglima, atau juga Raden Kumbokarna yang masih diliputi keraguan dalam mendamaikan kedua area itu, Basukarna justru memilih jalan kemanusiaan yang sederhana tanpa meninggalkan keduanya.

Basukarna, demikian ia disapa karena ia lahir melalui telinga demi terjaga kesucian Ibunda. Ia adalah buah kasih sayang antara Kunthi muda dan Batara Surya. Seorang gadis muda dalam keluguannya yang naïf telah bermain-main dengan penguasa perubahan lewat sebuah mantra asmara. Lalu, lahirlah kehidupan yang sebenarnya tak diharapkan karena keberadaannya diliputi penyesalan.

“Duhai, Kakanda Bagaskara, apa kata dunia tentangku setelah ini? Aku telah menodai kesucian yang seharusnya aku jaga sebagai anak pendeta; maka biarkan aku melihatmu untuk terakhir kalinya dengan segera.”

“Anakku, sebagaimana engkau, akupun takluk oleh waktu. Bukanlah hakku untuk mengambil kehidupan di muka bumi. Kematian tak akan membebaskanmu dari kesalahan. Kau justru harus merawat kehidupan yang telah bersemayam dalam tubuhmu sebagai bentuk penebusan.”

“Tetapi, Sang Surya, pantang bagiku darah perawan mengalir sebelum aku bersuami. Adakah keajaiban yang mampu menyembunyikan aibku?”

“Dewi kekasih hati, bukankah bintang-bintang dan bulan aku sembunyikan dari penglihatan di kala siang? Hal sesederhana itu tak sulit bagiku. Aku akan melakukannya untukmu. Ia akan bernama Karna karena ia hadir ke dunia melalui telinga.”

“Lalu siapakah yang akan merawat bayi tak berbapa ini ? Sedang diriku yang sekarang ini harus tetap bersembunyi dari penglihatan dunia.”

“Hanyutkan ia di sungai Gangga. Aku akan membimbingnya ke tangan yang tepat, mengamati pertumbuhannya, mendidiknya dengan kebijaksanaan matahari. Ia akan tumbuh sebagai sang pembebas.”

Syahdan, seperti membuang sesal yang tak terlupa, Kunthi muda menitipkan putra terkasih kepada arus Gangga. Sungguh, dalam lubuk hatinya sebagai seorang ibu, ia ingin dipertemukan dengan sang putra suatu waktu. Kunthi berbalik kembali kepada hidup sediakala dengan membawa penyesalan dan harapan rahasia.

Jaman berganti. Kusir Astina merawat Karna sebagai anak sendiri. Bahkan Suyudana putra Destarata mengasihinya setara dengan saudara Kurawa. Karna memperoleh berkah dari mereka yang terisih dan dibenci dari sejarah. Kasih pun ada dalam setiap insan manusia, betapapun serupa iblis ia. Guru Durna yang mendidik putra-putra Pandudewanata dan Destarata pun tak memungkiri kesetaraan kependekaran antara Panengah Pandawa dan Karna kadang Kurawa. Keduanya seperti surya kembar. Namun, hanya Batara Surya saksi bungkam yang mengerti mata rantai kisah sejati: bahwa keduanya adalah putra Kunthi. Hingga akhirnya, Karna terlibat dalam perselisihan saudara cucu-cucu Abiyasa itu.

Ketika Kresna diutus sebagai duta, dalam perhelatan agung di Astina, Adipati Karna mendesak untuk dilakukan peperangan dengan para Pandawa. Tak satupun menyepakati, bahkan Suyudana penguasa Astina sekalipun. Karna adalah sosok sadar dalam menempatkan diri setepatnya. Ia paham, Suyudana hanya akan menunda-nunda penyerahan Astina kepada yang berhak, yaitu para putra Pandudewanata. Hanya jika Kurawa tumpas, maka keadilan akan dapat ditegakkan. Perang adalah satu-satunya jalan dan ia adalah panglima dalam pasukan Kurawa. Hasutan Basukarna membakar amarah Suyudana sehingga Baratayuda dimulai dari pihak Astina.

Menjelang hari pembebasan. Suara hati seorang ibu dalam dirinya meyakinkan Kunthi bahwa Senapati Astina adalah putranya yang selalu ia rindukan. Di tengah taman Astina yang tersembunyi, Karna menemui Kunthi untuk pertama dan terakhir kali.

“Mahadewi, sahaya pamit palastra di Kurusetra”

“Hendak kau tumpas juga kebenaran, Nak ? ”

“Sekalipun tidak, Mahadewi. Hanya Baratayuda yang mampu mengembalikan Astina kepada yang berhak.”

“ Tapi di sana merintang darah dagingmu: Sena, Samiaji, Putra Madrim, dan Kinasihku.”

“Senapati bukanlah pembantai, Mahadewi. Hambalah Sang Pemula kancah di Kurusetra.”

“Duh, Kanda Batara Surya. Kumohon, batallah terbit esok hari, agar jaman tak berganti, agar akhir penantian ini abadi.”

“Mahadewi, Ayahanda tunduk patuh pada sang kala.”

“Duhai, Putraku, sekali saja panggilah aku Ibu. Tidakkah kau tahu ? Tidakkah kau mengakui ? Satu kata saja, Nak : Ibu”

“ Tidak, Mahadewi. Hamba tak lahir dari rahim seorang pelacur, sebagaimana kata orang nanti. Biarlah kesalahan tetap tersembunyi, antara Paduka, hamba, dan Ayahanda.”

“Dengan siapa kau akan bertaruh nyawa ? Jangan, Anakku. Jangan kau rampas Permadi dariku….”

“Izinkan hamba, berhadapan dengan Adinda Panengah, Mahadewi.”

Seketika Kunthi tak sadarkan diri, Karna berlalu penuhi kata hati. Ia relakan darahnya tumpah demi jalan keadilan.

Sumber :http://koez-antoro.blog.friendster.com