Kamis, 09 Desember 2010

KUMBAKARNA


CERITO WAYANG SINGKAT :

Kumbakarna adalah seorang ksatria bangsa Raksasa yang hidup di jaman kejayaan Prabu Sri Rama dari kerajaan Ayodya. Ayah Kumbakarna adalah seorang resi bernama Begawan Wisrawa, sedang ibunya adalah Dewi Kekasi, putri seorang raja bernama Prabu Sumali. Kumbakarna adalah juga adik penguasa negri Alengka, bernama Prabu Rahwana.

Perseteruan Alengka dan Ayodya diyakini hanyalah sebuah salah paham. Ada yang berpendapat bahwa kemarahan negri Ayodya kepada Rahwana di Alengka adalah karena diculiknya Dewi Shinta, permaisuri Sri Rama, raja Ayodya, oleh Rahwana. Tapi Alengka menduga bahwa Shinta memang sengaja diumpankan kepada Rahwana, agar Ayodya cukup memiliki alasan menyerang dan menguasai negri Alengka, negri yang cukup kaya.

Kumbakarna adalah seorang patriot. Suatu ketika dia pernah berjasa kepada bangsa Dewa, sehingga dia diberi kebebasan untuk menentukan pilihan hadiah apa yang diinginkan dari bangsa Dewa. Adalah Batara Brahma dan Batari Saraswati yang diutus Hyang Guru untuk menemui Kumbakarna menanyakan apa yang diminta. Diyakini bahwa Kumbakarna sedianya akan meminta ‘Indrasan’, ungkapan dalam bahasa Sansekerta yang berarti sebuah keistimewaan untuk menjalani hidup mewah di negri kahyangan Kaendran, milik Batara Indra, seperti yang terjadi pada Arjuna beberapa ratus warsa kemudian.

Tapi Kumbakarna menjadi salah tingkah dihadapan Dewi Saraswati, lidahnya kelu dan salah mengucap ‘Nendrasan’, yang berarti tidur panjang. Maka Kumbakarna pun mengalami tidur panjang. Ketika negri Alengka kemudian diserang oleh negri Ayodya dibantu oleh pasukan bangsa Kera, Rahwana kemudian memerintahkan prajuritnya agar segera membangunkan Kumbakarna. Dibutuhkan sekelompok gajah untuk menginjak-injak tubuh Kumbakarna agar membuka matanya dari tidur panjang. Dan perlu disediakan sekeranjang makanan kegemarannya sehingga membuatnya benar-benar terbangun.

Pertama kali yang dilakukan Kumbakarna ketika terbangun adalah bicara dengan kakaknya, agar mengembalikan Shinta. Tapi Rahwana juga memiliki dalih kuat yang justru ingin melindungi Shinta yang dianggapnya telah diperalat. Apalagi saat itu pasukan Ayodya sudah hampir menuju pantai negri Alengka. Maka Kumbakarna pun memimpin pasukan Alengka di garis depan, bukan dalam rangka membela kakaknya, tapi lebih kepada membela negrinya yang sedang menghadapi penjajah. Kumbakarna pun melawan Sri Rama tidak dengan rasa benci, yang dia lakukan hanya dalam rangka melindungi tumpah darahnya. Semua ksatria Ayodya yang terluka atau mati di tangan Kumbakarna, dia perlakukan dengan hormat dan menjunjung tinggi sikap ksatria sebagai sesama patriot.

Panah Sri Rama memutuskan kedua tangan Kumbakarna. Tapi itu tak menghentikannya. Kumbakarna tetap menggempur dengan kakinya. Sampai panah Sri Rama memutuskan kedua kaki itu. Kumbakarna tetap tidak berhenti, tanpa tangan dan kaki dia menggelindingkan badan kesana kemari menggempur prajurit Ayodya. Panah Sri Rama terakhir menigas leher Kumbakarna.

Dihari kematian Kumbakarna pun, Sri Rama mengibarkan gencatan senjata, sebagai hormatnya kepada Kumbakarna atas keberanian, dan semangat bertempur sebagai seorang pejuang, yang baru kali itu Sri Rama melihat seorang patriot seperti Kumbakarna.

Sumber :http://www.pitoyo.com

VERSI LAIN :

Kumbakarna seperti “kesurupan (kemasukan)” mengumpat dan berceramah laksana guru besar di depan Rahwana, “nrocos” lancar tak ada hentinya. Saking emosinya, hilanglah “suba sita” dan protokloer kerajaan. Tak ada predikat Paduka, tak ada “Yang Mulia”dan tak ada “Baginda” tetapi yang terdengar kamu dan kau. Tenteu saja Rahwana menjadi naik pitam mendengar ceramah Kumbakarna. Kecuali ia adiknya, juga dipandangnya sebagai orang bodoh, tak tahu politik. Keahliannya hanya makan, minum dan tidur mendengkur belaka.

Maka bentaknya :”Drohon diam” ! teriak Rahwana laksana “gelap ngampar”, matanya melotot, giginya kerot seperti hendak menerkam dan mencekik leher Kumbakarna.

“Aku panggil kau dan memberimu makan, bukannya untuk berkotbah dan berteori seperti filsuf. Aku adalah saudara tuamu, aku telah memberi pangkat dan harta, itu bukanlah gaji buta. Tetapi harus ada imbalannya. Aku telah memproklamirkan negara dalam keadaan bahaya “SOB”, tahukah artinya? Artinya siapa yang membantah perintah raja berarti melawan undang undang. Hukumannya hanyalah hukuman mati. Tahukah kamu? bahwa anakmu Kumba Aswani dan Aswani Kumba juga telah gugur berbakti untuk negaranya.”

“Kau benar-benar orang tua pengung, hanya tidur mengorok, tak tahu membalas budi. Pilihlah salah satu. Minggat dari Alengka atau membela Tanah Air. Kapan lagi kau berperang untuk negara…….. Jangan jawab, saya tidak memerlukan jawaban.”

Setelah Kumbakarna mendengar bahwa kedua anaknya telah gugur di medan laga, maka tiba-tiba perutnya merasa muak dan dimuntahkannya segala makanan dan minuman yang telah ditelan masuk keperutnya, laksana curahan hujan. Pendapa kerajaan Alengka menjadi basah laksana tergenang banjir di bulan Januari. Muntahan Kumbakarna memenuhi pendapa Alengka sampai setinggi 70 cm , dan baunya bukan main. Daging yang belum sempat dicerna dan sari makanan yang belum sempat di serap, dimuntahkan semuanya.

Tanpa pamit dan menghormat. Kumbakarna meninggalkan sitihinggil Alengka pergi menuju ke medan laga untuk melawan musuh yang menyerang negaranya. Ia berangkat ke medan perang bukan untuk membela perbuatan kakaknya. Tetapi ia berangkat ke medan perang dengan tekad untuk membela negara, bangsa, leluhur, keluarga dan nenek-moyangnya. Ia tetap memegang teguh sifat kesatriaannya maka ia bersemboyan “lebih baik mati dalam peperangan daripada hidup mewah di Alengka tetapi dijajah, dirusak oleh prajurit kera. Pendek kata ia bersemboyan “Right or wrong it’s my country”.

Demikian orang Inggris berkata:

Kumbakarna is among the best-loved of wayang figures, and the prize example of inner nobility and purity despite of bellying external appearance” (Kumbakarna adalah salah satu diantara wayang yang disenangi dan contoh yang berharga dari watak/budi mulia dan suci walaupun wujudnya jelek). Sampai-sampai ditripomo-kan (three examples);

Kumbakarna was ordered to lead the battle fray. By his brother Dasamuka, and did not refuse. Fulfilling his duty as a satrya. Steadfast in his determination. his only thought was to serve his country. Recalling that his father and mother. And all his ancestors, had won glory and honor in Ngalengka. Which monkey armies now threatened to destroy. He vowed to die in battle (Punagi mati ngrana = lebih baik mati di dalam medan laga).

Kumbakarna kinen mangsa jurit, maring kang raka sira tan nglenggana, nglungguhi kesatriane, ing tekad datang sujud, amung cipta labuh nagari, lah noleh jajah rena, myang leluhur ipun, mangka arsa rinusak ing bala kapi, “punagi mati ngrana”.

Dan benar juga Kumbakarna mati sangat mengerikan dan penuh penderitaan. Tangan putus, kaki pisah dengan gembung, hidup hilang mancungnya, telinga hilang gedohnya, darah mengucur dari badannya. Ia menjerit-jerit mengaduh kesakitan, menimbulkan gara-gara. Namun walau betapapun kesaktian Kumbakarna, tak mampu melawan “Ramawijaya dan Laksmana akhirnya gugurlah Kumbakarna sebagai pahlawan kusuma bangsa.”

Dilihat secara wadag, memang pilihannya benar, tetap sayang ia sebagai satria sejati yang mati sia-sia, karena negaranya toh akan kalah. Sedang secara rohaniah ia dipihak angkara, sehingga sukmanya (untuk beberapa lama) tidak sempurna dan mengembara tak menentu arah tujuannya.

Sumber :http://wayang.wordpress.com