Kamis, 09 Desember 2010
LELAKONE LAKON WAYANG
BEBERAN EXTREM KANAN :
1. BRAHALA.
Cerita tentang wayang Brahala ini telah dijelaskan pada wayang kelompok simpingan kiri. Adapun bedanya hanya terletak pada sunggingan saja. Kalau Brahala yang di simpingan kiri ditunjukkan Brahala yang muka dan tubuhnya disungging dengan warna putih, atau Brahala yang berambut gimbal (bahasa Jawa) muka disungging warna merah tubuh warna emas/prada, maka Brahala yang di simpingan kanan ditunjukkan yang muka dan tubuhnya disungging warna hitam dan satu Brahala dengan rambut gimbal/ambur-adul muka dan tubuhnya disungging gemblengan (bahasa Jawa) artinya disungging warna emas/prada.
Adapun tujuan dari cara penyimpingan yang demikian itu dimaksudkan untuk memperoleh keindahan. Karena di simpingan kiri banyak wayang yang mukanya disungging warna merah, maka Brahala yang bermuka warna putih atau merah disimping di kiri. Sedangkan Brahala yang muka dan tubuhnya disungging warna hitam serta gemblengan disimping di sebelah kanan, mengingat di simpingan kanan banyak wayang yang muka dan tubuhnya disungging warna hitam atau prada.
Wayang Brahala ini penggunaannya sama dengan Brahala di simpingan kiri, bahkan tidak menutup kemungkinan dalam satu lakon/cerita harus dikeluarkan lebih dari satu Brahala, misalnya: Brahala Prabu Kresna, Brahala Prabu Yudistira dan Brahala Batara Guru. Khususnya dalam lakon-lakon carangan, mungkin untuk tujuan tambah ramainya pergelaran, apalagi wayang yang disediakan memang lengkap.
2. RADEN WERKODARA.
Raden Werkodara adalah putra Prabu Pandudewanata raja negara Astina setelah Prabu Kresnadwipayana atau Wiyasa. Ibunya bernama Dewi Kunti/Prita. Ia adalah putra kedua walaupun kelahirannya ke dunia lebih dahulu dari pada Yudistira. Karena waktu lahir berupa bungkus, bungkus tersebut dapat dipecah setelah dihunjam gading Gajahsena. Terlahirlah anak bayi yang kemudian dapat membinasakan Gajahsena sendiri, sehingga sukmanya menyatu dengan anak bayi yang lahir keluar dari bungkus tersebut. Oleh karena itu oleh Batara Narada ia diberi nama Bratasena yang berarti kelahirannya terjadi karena tapa brata dan bantuan Gajahsena. Nama lain dari Werkodara adalah: Bayusuta, Bimangalaga, Pandusiwi, Kusumadilaga, Gandawastraatmaja, Jodipati, Jayalaga, Wijasena.
Raden Werkodara berbusana: 1.Gelung Minangkara Cinandi Rengga, rendah depan tinggi belakang. 2.Pupuk mas reneka jaroting asam. 3.Sumping pundak sinumpet. 4.Anting-anting panunggal maniking warih, 5.Sangsangan naga banda (ular besar). 6.Kelat bahu reneka blibar manggis, binelah hingga kedaganya. 7.Gelang candra kirana. 8.Kampuh poleng bang bintulu adi, merah, hitam, kuning, putih dan hijau maya-maya. 9.Paningset cinde bara binelah numpang betis kanan dan kiri. 10.Porong dapur naga raja sebagai kancing.Nafas Raden Werkodara: kendel, bandel, kumandel, tetep, mantep, madep, sregep, ajeg, jejeg, kuat dan sentosa, awas dan waspada, taberi, berbudi luhur, dan lahir tembaga batin kencana.
Pada waktu muda tidak bersanggul/gelung tetapi bergaruda membelakang besar rambut terurai di pundak. Wayang tersebut akan ditunjukkan dalam nomor Raden Bratasena. Setelah melalui rintangan-rintangan dan ujian-ujian yang berat antara lain: mencari "kayugung susuhing angin" dan "tirta perwitasari mahening suci" di mana Raden Werkodara harus mengalahkan dua raksasa penjelmaan Batara Indra dan Batara Bayu yang bernama Rukmuka dan Rukmakala di hutan Tribasara di gunung Reksamuka atau Candramuka, harus mencebur Samudra Selatan dan mengalahkan Naga Nabatnawa akhirnya Werkodara dapat berjumpa dengan Dewa Ruci dan diajarkanlah semua ilmu kesempurnaan sejati yang ia cari. Sejak saat itu Werkodara bergelung, tidak bergaruda membelakang lagi.
Dalam perang Baratayuda Werkodara dapat membunuh senopati Korawa antara lain: Jayawikata, Bomawikata, Gardapati, Bogadenta, Dursasana, Sengkuni dan bahkan Prabu Duryudana pun tewas olehhya.
3. RADEN GATOTKACA.
Raden Gatotkaca adalah putra Raden Werkodara dengan Dewi Arimbi. Pada waktu lahir berwujud raksasa, tali pusarnya tidak dapat dipotong kecuali dengan senjata Karna yang bernama Kunta Wijayadanu, sehingga sarungnya masuk ke dalam pusarnya yang akhirnya senjata Kunta milik Karna merupakan pantangannya. Bayi Gatotkaca dimasak jadi bubur dalam Kawah Candradimuka dan diisi dengan berbagai kesaktian sehingga Raden Gatotkaca dapat digambarkan berotot kawat, bertulang besi, berdarah gala-gala, kulit tembaga, berjari gunting, lutut paron. Raden Gatotkaca sangat sakti, tidak mempunyai senjata, bisa terbang, memiliki aji Narantaka. Mempunyai sifat perwatakan berani tak mengenal takut, teguh, tangguh, cerdik pandai, waspada, gesit, tangkas, terampil, tabah dan rasa tanggung jawab yang besar. Dalam pagelaran banyak lakon yang sering mengeluarkan wayang tokoh ini.
Dalam lakon “Gatotkaca Lahir”, Raden Gatotkaca sejak masa kanak-kanak telah menjadi jago para Dewa di Suralaya, dapat menewaskan Patih Sekipu dan Kala Pracona dari negara Tasikwaja atau Gilingwesi, karena raja raksasa ini ingin mempersunting Batari Gagarmayang.
Dalam lakon “Gatotkacasraya”, dikisahkan Raden Gatotkaca berdosa karena mengetok kepala Kalabendana sehingga tewas, karena kepolosan Kalabendana mengatakan di keputren negara Wirata yang didengar Dewi Utari, bahwa Abimanyu telah memiliki isteri Dewi Titisari. Oleh karena itu pada waktu perang Baratayuda, Raden Gatotkaca gugur di medan laga karena tersentuh senjata Kunta milik Adipati Karna yang didorong oleh sukma Kalabendana.
Dalam lakon “Kikis Tunggarana”, Raden Gatotkaca berperang melawan serangan Prabu Bomanarakasura dari negara Trajutrisna karena perebutan wilayah Tunggarana dengan rajanya Prabu Kahana yang telah lama tidak hadir dalam persidangan di negara Trajutrisna, tetapi telah bergabung dengan kerajaan Pringgondani, di mana rajanya adalah Raden Gatotkaca. Di samping adanya pihak.
4. PRABU KRESNA.
Nama lain dari Prabu Kresna adalah Harimurti, Padmanaba. Sebelum menjadi raja di negara Dwarawati bernama Raden Narayana. Mempunyai beberapa senjata antara lain Cakra sebagai bukti titisan Batara Wisnu Dewa yang berwenang membagi kebahagiaan. Kembang Wijayakusuma yang bisa menghidupkan orang mati bukan takdir. Jika murka Prabu Kresna bisa bertriwikrama berubah menjadi Brahalasewu seperti Batara Wisnu.
Dalam lakon “Kresna Gugah” Brahala yang sedang tidur membawa senjata Cakra diceritakannya, siapa yang dapat membangunkannya akan menang dalam perang Baratayuda. Maka berusahalah pihak Korawa maupun Pandawa, namun pihak Korawa sia-sia belaka karena jiwa Kresna telah meninggalkan badan wadaknya dan naik ke Kahayangan untuk berunding dengan para Dewa perihal perang Baratayuda. Hanya Arjuna saja yang tahu dan bisa menyusul ke Kahayangan. Jiwa Prabu Kresna kembali ke tubuhnya yang berupa Brahala dan terbangunlah ia dari tidurnya. Terbukti juga Pandawa yang menang dalam perang Baratayuda.
Dalam lakon "Kresna Duta". Prabu Kresna murka pada waktu dikeroyok oleh Korawa di Alun-alun Astina. Bertriwikrama menjadi Brahala juga, dan akhirnya diredakan oleh Batara Surya Dewa Matahari.
Masih banyak lakon-lakon lain yang disanggit oleh para Dalang, umpamanya lakon “Kresna Boyong”. Jalannya pakeliran dapat didengarkan dalam rekaman kaset wayang yang dibawakan oleh seorang Dalang yang sudah cukup terkenal.
Senjatanya yang lain berwujud Sangkala/terompet yang bernama Pancajanya, kaca paesan untuk melihat peristiwa yang sedang terjadi dan akan terjadi. Aji yang dimiliki antara lain Aji Pameling, Aji Pangabaran dan Aji Kawrastawan.
Empat orang permaisurinya antara lain Dewi Jembawati berputra Raden Samba dan Gunadewa (berwujud kera dan ikut kakeknya Jembawan), Dewi Rukmini berputra Saranadewa (berwujud raksasa) dan Partadewa, Dewi Setyaboma berputra Raden Setyaka, Dewi Pertiwi berputra Bambang Suteja dan Dewi Sundari.
Wayang Prabu Kresna yang dikeluarkan waktu sore bermuka agak tunduk disungging warna hitam badan diprada, yang dikeluarkan pada waktu pagi badannya disungging warna hitam. Ini semua tergantung Ki Dalang yang membawakannya. Prabu Kresna berwanda: 1.Gendreh, 2.Rondon, 3.Mawur, 4.Mangu, 5.Botoh, 6.Surak dan 7.Jagong. Di sini ditunjukkan lebih dari empat macam
5. ABIMANYU.
Abimanyu adalah putra Arjuna dengan istri Dewi Warasumbadra, mempunyai tempat kedudukan di Plangkawati setelah mengalahkan Prabu Jayamurcita. Tabiatnya halus, baik tingkah lakunya, ucapannya terang, hatinya keras, mudah tersingung, besar tangung jawabnya, mudah patah hati, pemberani, senang melatih diri dan batinnya, senang bertapa. Dalam hal olah keprajuritan ia mendapat ajaran dari ayahnya, Arjuna dan dalam ilmu kebatinan mendapat bimbingan dari kakeknya Begawan Abiyasa. Nama lain dari Abimanyu, Angkawijaya, Jayamurcita, Jaka Pengalasan, Kritiyatmaja, Partasuta, Sumbadratmaja, Wanudara, Wirabatana. Dua istrinya benama: 1.Dewi Siti Sundari putri prabu Kresna raja Dwarawati, 2.Dewi Utari putri Baginda Matswapati raja Wirata. Pernah mendapat wahyu: 1.Hidayat wahyu yang mempunyai daya mengerti dalam segala hal (dapat juga diceritakan wahyu ini jatuh pada Dewi Utari putri Baginda Matswapati raja Wirata), 2.Cakraningrat suatu wahyu yang dapat menurunkan raja-raja besar.
Abimanyu akrab sekali dengan Raden Gatotkaca. Dalam perang Baratayuda atas perintah Prabu Darmakusuma, Abimanyu maju ke medan perang sehubungan barisan Pandawa yang bergelar "Garuda Nglayang" di bawah Senopati Raden Drestajumna terdesak oleh barisan Korawa yang bergelar "Cakrabiha" di bawah Senopati Begawan Durna. Hal ini terjadi karena penjawat kanan di bawah pimpinan Werkodara terbawa ke arah pantai Selatan bertanding melawan Prabu Gardapati.
BEBERAN EXTREM KIRI :
1. BRAHALA.
Wayang ini dikeluarkan saat sang tokoh sedang triwikrama karena telah habis kesabaran dan kebijaksanaannya sehingga nafsu amarahnya memuncak. Disebut juga Brahalasewu atau Balasewu. Tokoh-tokoh yang dapat bertriwikrama menjadi Brahalasewu adalah Batara Guru, Batara Ismaya, Batara Wisnu, Prabu Arjuna Sasrabahu, Prabu Kresna, Prabu Darmakusuma dan mungkin masih ada yang lain lagi.
2. BUTA RATON.
Buta Raton artinya Raksasa Raja. Wayang ini dalam pakeliran mempunyai banyak sekali nama. biasanya menggambarkan seorang raja yang berwujud raksasa, berwatak angkaramurka, oleh karena itu muka disungging warna merah. Kecuali untuk tokoh Kumbakarna biasanya muka disungging warna prada, namun jika wayang yang demikian tidak tersedia digunakan juga Buta Raton yang mukanya disungging warna merah, atau semua ini tergantung pada selera Ki Dalang. Karena tujuan pokoknya untuk menunjukkan bahwa Raden Kumbakarna ini walaupun berwujud raksasa besar, masih berwatak ksatria. Terkenal dalam serat Tripama karya Sri Mangkunegara IV. Karena Raden Kumbakarna berperang melawan bala tentara Sri Rama bukan untuk membela kakaknya Prabu Rahwana, tetapi dia berperang hanya untuk membela tumpah darahnya atau tanah airnya. Karena Raden Kumbakarna tahu bahwa pihak kakaknya prabu Rahwana yang salah, sedangkan Sri Rama yang titisan Batara Wisnu berada dipihak yang benar. Nama-nama Buta Raton yang sering disebutkan dalam pakeliran antara lain:
3. PRABU KALA TREMBOKO.
Prabu Kala Tremboko dalam Ensiklopedi disebut juga Prabu Arimbaka. Ia adalah seorang raja raksasa di kerajaan Pringgandani. Permaisurinya bernama Handiba. Putra-putranya adalah: Arimba, Dewi Arimbi, Arya Prabakesa, Brajadenta, Brajamusti, Brajalamadan, Brajawikalpa dan Kala Bendana. Menurut Ki Narto Sabdho masih ada putra dari selir yang bernama Haribawana yang berupa raksasa juga. Prabu Kala Tremboko menang dalam peperangan melawan Prabu Bomantara raja negara Prajatisa, sehingga negara tersebut menjadi taklukannya dan tampuk pimpinan negara diserahkan kepada Prabu Narakasura penggantinya.
Prabu Kala Tremboko binasa dalam peperangan menggempur negara Astina melawan Prabu Pandudewanata dalam lakon perang Pamuksa. Prabu Kala Tremboko melawan Prabu Pandudewanata karena ingin mati di tangan manusia yang tahu sastrajendrahayuningrat, sehingga beliau dapat mati sempurna.
4. PRABU GORAWANGSA.
Prabu Gorawangsa adalah raja negeri Bombawirayung. Dia dapat berubah rupa menjadi Prabu Basudewa raja Mandura, karena diketahui Prabu Basudewa sedang berburu ke hutan, sehingga dapat bermain asmara dengan Dewi Maherah permaisuri Prabu Basudewa.
Karena bantuan Prabu Pandudewanata, Prabu Gorawangsa dapat dibinasakan. Hasil permainan asmaranya dengan Dewi Maherah melahirkan Raden Jaka Maruta atau Kangsa Dewa yang kemudian menuntut ingin diangkat menjadi putra mahkota negara Mandura. Bentuk wayangnya juga salah satu dari beberapa wayang Buta Raton ini.
5. PRABU BAKA.
Prabu Baka adalah raja negeri Ekacakra. Ia suka memakan orang. Rakyatnya secara bergilir diwajibkan memberi upeti berupa orang seorang ditambah nasi segerobak. Prabu Baka binasa oleh Raden Bratasena pada saat Para Pandawa tinggal dinegara Ekacakra setelah lakon Bale Sigalagala, menumpang pada seorang Brahmana yang bernama Resi Japa. Karena Resi Japa sekeluarga mendapatkan giliran untuk memberikan upeti manusia dan nasi segerobak, maka resahlah keluarganya sehingga istrinya menangis. Karena tangisnya didengar oleh Dewi Kunti, maka ditolonglah Resi Japa dan keluarganya. Akhirnya Raden Bratasenalah yang akan menjadi ganti keluarga Resi Japa. Esok harinya membawa nasi segerobak ke depan Prabu Baka. Nasi tadi tidak diberikan Prabu Baka, melainkan dimakan sendiri oleh Raden Bratasena. Prabu Baka marah sekali, sehingga terjadilah perkelaian yang amat seru. Prabu Baka mati terbunuh oleh Raden Bratsena, amanlah negara Ekacakra bebas dari ancaman rajanya. Lakon ini pernah terlihat pada pergelaran wayang di museum keprajuritan TMII dengan Dalang yang sudah cukup terkenal dengan lakon Bale Sigalagala. Wayang Buta Raton inilah yang dipergunakan sebagai Prabu Baka.
6. MAHESASURA.
Mahesasura adalah raja negara Gua Kiskenda, ia berwujud raksasa yang besar mengerikan berkepala kerbau dan bertanduk panjang. Patihnya bernama Lembusura berwujud raksasa juga, tetapi berkepala sapi yang bertanduk panjang. Mahesasura mempunyai saudara yang dijadikan kendaraan perangnya bernama Jatasura. Jatasura bertubuh banteng tetapi berkepala raksasa. Prabu Mahesasura berwatak angkaramurka. Istananya terletak dalam sebuah gua besar yang di dalamnya lebar sekali. Balatentaranya berwujud raksasa yang tak terbilang jumlahnya, berikut para senopati dan adipatinya, rata-rata sakti. Kerjanya tiap hari mengganggu rakyat, mereka merusak tanaman sawah tegalan dsb. Prabu Mahesasura ingin meminang bidadari Kaindran yang bernama Dewi Tara. Maka diutuslah Patih Lembusura pergi ke Kahayangan untuk meminta Dewi Tara kepada Batara Indra, untuk dijadikan permaisuri. Tetapi Batara Indra tidak mengijinkan dan ditolak lamaran Mahesasura tersebut, sehingga Lembusura pulang ke Gua Kiskenda untuk melaporkan kejadian itu kepada rajanya. Sebelum bala tentara Prabu Mahesasura menyerang Kahayangan, diseranglah negara Gua Kiskenda oleh para Dewa hingga habis binasa bala tentara raksasa Gua Kiskenda termasuk Patih Lembusura tewas. Tinggal Mahesasura dan Jatasura yang masih hidup bersama-sama raksasa-raksasa wanita. Para Dewa tidak mampu menandingi perlawanan Mahesasura dan Jatasura, karena jika yang satu mati, dilangkahi satunya, hidup kembalilah kedua makluk itu. Namun akhirnya dapat juga dibinasakan oleh jago Dewa yang bernama Raden Subali, dengan menggunakan sekuat tenaga kedua makluk ajaib, raja dan tunggangannya itu diadunya sehingga kedua-duanya tewas, darah segar berwarna merah dan putih mengalir ke sungai keluar gua.
Wayang Mahesasura ini sebenarnya ada yang berpendapat bukan termasuk wayang simpingan, tetapi karena selama ini wayang Mahesasura sering terlihat pada pergelaran-pergelaran selalu disimping, maka di sini dimasukkan dalam wayang simpingan kiri. Bahkan pada wayang-wayang yang kurang lengkap, tokoh Mahesasura dapat digantikan dengan wayang Buta Raton.
Wayang Mahesasura berkepala kerbau nampak tanduknya yang panjang, bermahkota, berpraba, berkain raja raksasa.
7. PANCATNYANA.
Pancatnyana adalah patih negara Trajutrisna, rajanya bernama Suteja atau Prabu Bomanarakasura setelah dapat membinasakan Prabu Bomantara. Pada waktu negara Trajutrisna berperang melawan negara Pringgandani dalam memperebutkan Kikis Tunggarana, Patih Pancatnyana berhadapan melawan patih Pringgandani yang bernama Prabakesa. Sedangkan Prabu Bomanarakasura bertanding melawan Raden Gatotkaca.
Patih Pancatnyana berwujud raksasa besar, berhidung haluan perahu, bermulut menganga nampak gigi-gigi dan taringnya, bertopong atau pogogan bergaruda besar membelakang, berambut terurai, berpraba, tangan belakang irasan, berkain raja raksasa. Apabila tidak terlengkapi dengan wayang ini, biasanya digunakan wayang Raksasa Raja Muda atau Buta Patih. Namun pernah terlihat dalam pergelaran di Surabaya melalui siaran televisi INDOSIAR, seorang Dalang yang cukup terkenal menunjukkan wayang Patih Pancatnyana dengan wayang tidak seperti ini, tetapi dengan wayang raksasa rambut terurai, bergaruda membelakang, tangan belakang terlepas dapat digerakkan, badan disungging warna coklat. Wayang tersebut mungkin milik pribadi sehingga enak dimainkan di kelir (cepengannya enak) dan dalam lakon apa pun selalu dikeluarkan di kelir.
8. RAKSASA RAJA MUDA.
Wayang ini sering terlihat digunakan sebagai seorang patih raksasa, misalnya Patih Sekipu dari negara Gilingwesi, Patih Pancatnyana dari negara Trajutrisna, Patih Prahasta dari negara Alengka, Patih Suratrimantra dari negara Sengkapura, bahkan bila Patih Lembusura dari negara Gua Kiskenda tidak dilengkapi, dapat juga digunakan wayang ini. Demikian juga untuk patih-patih dari negara seberang biasa digunakan wayang ini. Sehingga boleh dikatakan dalam lakon apa pun wayang ini dapat dikeluarkan dengan nama sekehendah Ki Dalang, khususnya lakon-lakon carangan.
Dalam pergelaran-pergelaran memang sering wayang ini ditunjukkan sebagai seorang patih dari suatu negara tertentu, apalagi jika rajanya juga seorang raksasa (ditunjukkan dengan Buta Raton). Oleh karena itu kiranya tidak keliru.
9. PRABU DASAMUKA
Dasamuka artinya bermuka sepuluh. Karena kalau triwikrama kepalanya dapat menjadi sepuluh. Nama aslinya Rahwana, karena pada waktu lahir berada ditengah hutan dan terdiri dari segumpal darah. Rah berarti darah, wana berarti hutan. Ibunya bernama Dewi Sukesi, ayahnya bernama Begawan Wisrawa. Prabu Dasamuka berpermaisuri Dewi Tari. Ia berputra mahkota Indrajit atau Megananda. Putra-putra dari isteri yang lain diantaranya: Trikaya, Trinetra, Trisirah, Trimurda, Pratalamaryam dll. Ia naik takhta kerajaan Alengka menggantikan kakeknya Prabu Sumali, dengan patihnya pamannya sendiri yaitu Prahasta. Saudara-saudara seayah seibu antara lain: Kumbakarna berwujud raksasa, tinggal di kesatrian Pangleburgangsa, Dewi Sarpakenaka berwujud raksesi, Gunawan Wibisana berwajah tampan. Prabu Dasamuka berwatak angkaramurka, ingin menangnya sendiri, penganiaya dan pengkianat, keras hati, berani serta menuruti kata hatinya sendiri. Ia sangat sakti, karena mempunyai aji Pancasona yang didapat dari Resi Subali dan dapat triwikrama menjadi raksasa berkepala sepuluh. Prabu Dasamuka mengidamkan seorang istri penjelmaan Dewi Widowati. Ia meminang putri negara Ayodya bernama Dewi Sukasalya, putri Prabu Banaputra. Sesuai dengan wataknya, ia minta dengan bengis dan mengancam dengan kekerasan, sehingga mengakibatkan peperangan antara kedua negara itu. Prabu Banaputra gugur dalam pertempuran. Dewi Sukasalya melarikan diri dari Ayodya untuk menyembunyikan diri. Resi Baratmadya dan semua yang melindungi pelarian putri tersebut dibinasakan oleh Rahwana. Akhirnya Resi Dasarata dapat menipunya, Rahwana diberi Dewi Sukasalya palsu yang segera dibawa kembali ke Alengka, tetapi Dewi Sukasalya tersebut kembali ke asalnya, menjadi sekuntum bunga. Rahwana sangat marah, lalu menuntut Resi Dasarata. Resi Dasarata menjawabnya dengan sebuah kalimat bahwa matihidup manusia itu ada di tangan Dewa. Kemarahan Rahwana kemudian beralih ditujukan kepada Dewa dan memerintahkan angkatan perangnya untuk menggempur Suralaya. Niatnya itu didengar oleh kakaknya lain ibu yang bernama Prabu Danaraja, raja negara Lokapala. Prabu Danaraja datang ke negara Alengka untuk memberikan nasehat agar jangan menyerang para Dewa di Suralaya. Tetapi nasehat itu malahan menjadikan salah paham, sehingga mengakibatkan terjadinya peperangan antara Rahwana dengan Prabu Danaraja. Prabu Danaraja akhirnya gugur dalam pertempuran itu.
Pada suatu ketika Rahwana berkelana mencari penjelmaan Dewi Sri Widowati. Ia melewati di atas hutan Sunyapringga, di mana Resi Subali sedang bertapa. Karena kesaktian Resi Subali, Rahwana jatuh dari angkasa. Ia menjadi marah dan menyerang Resi Subali, sehingga terjadi peperangan antara keduanya. Rahwana kalah dan menyerahkan diri untuk berguru pada Resi Subali. Aji Pancasona akhirnya diberikan juga kepada Rahwana. Demikian asal mula Rahwana memiliki aji Pancasona. Pada zaman Prabu Arjuna Wijaya bertakhta di negeri Maespati, Rahwana menyerang Maespati dan dapat membunuh Patih Suwandagni/Sumantri. Tetapi ia dapat ditahan dan disiksa oleh Prabu Arjuna Wijaya/Arjuna Sasrabahu, dengan diikat serta diseret pada kereta. Sejak itu keangkaramurkaan Rahwana dapat dipadamkan sehingga dunia diliputi dengan kedamaian. Setelah Prabu Arjuna Sasrabahu muksa, sifat angkaramurka Rahwana timbul kembali. Karena ia sangat segan kepada Resi Subali gurunya, maka ia mencari daya upaya untuk membinasakan gurunya. Dihasut dan diadu dombalah antara Resi Subali dan Sugriwa adiknya, sehingga timbul perang saudara. Negara Gua Kiskenda dikuasai Resi Subali, Dewi Tara permaisuri Sugriwa dirampas.
Di dalam Ramayana diceritakan, bahwa Dasamuka berhasil menculik Dewi Sinta, permaisuri Sri Rama Wijaya. Akibat dari perbuatan ini terjadi perang besar Alengka, sehingga Prabu Dasamuka gugur oleh tangan Sri Rama Wijaya dengan perantaraan panah sakti Guwawijaya. Untuk menghindari kemungkinan bangkitnya kembali Prabu Dasamuka yang telah tewas itu, maka ditimbumlah oleh Anoman dengan gunung Kendalisada. Konon dalam pedalangan cerita tentang Rahwana masih ada dalam zaman Mahabarata/Pandawa/Madya, sehingga rohnya masih berkeliaran yang disebut Prabu Godayitma atau Godakumara, bertakhta di negara Tawanggantungan atau Suwargabandang. Tetapi semua ini dapat dikalahkan oleh Anoman yang berumur panjang juga, dan selalu mengabdi kepada titisan Batara Wisnu yang selalu memelihara ketentraman dunia.
Demikian juga dalam suatu pergelaran dapat diceritakan bahwa sukma/roh Godayitma dapat menyusup pada seseorang sehingga memiliki sifat angkaramurka dan ingin menyerang pada kebaikan yang selalu dijunjung tinggi para Pandawa. Biasanya tokoh yang disusupi oleh Godakumara itu, siapa pun namanya selalu memihak/membantu para Korawa. Tetapi akhirnya semuanya dapat dikalahkan oleh Pandawa yang dibantu oleh Anoman dan Prabu Kresna. Cerita-cerita tentang Godayitma/Godakumara ini merupakan lakon carangan, kelihatannya sudah sulit diketahui siapa sebenarnya yang pertamakali memiliki sanggit yang demikian. Tentunya para Dalang dapat dengan bebas menciptakan sanggit-sanggit baru yang sesuai dengan perkembangan pandangan hidup masyarakat sehingga pergelaran wayang merupakan sumber inspirasi, menarik dan tetap diminati masyarakat.
Bentuk wayang Prabu Dasamuka, muka sangat garang, bertaring, bermahkota, berpraba, bersampir, berkain katongan, tangan belakang irasan. Di sini ditunjukkan empat wayang Dasamuka dan satu wayang Dasamuka dalam bentuk.
10. NARPATI SUGRIWA.
Nama lain dari Sugriwa adalah Guwarsa. Ia putra bungsu dari Resi Gutama di pertapaan Grastina di atas perbukitan Sukindra. Ibunya seorang Bidadari bernama Dewi Indradi. Ia berwujud wanara/kera, karena akibat berebutan "Cupu Manik Astagina" bersama saudara-saudaranya, Anjani dan Guwarsi/Subali. Oleh ayahnya diperintahkan untuk bertapa ngidang (hidup sebagai kijang), di dalam hutan Sunyapringga, apabila menginginkan wajahnya kembali seperti semula. Sesudah peristiwa Kaindran, ia dinobatkan sebagai raja Gua Kiskenda dengan gelar Narpati Sugriwa, berpermaisuri Dewi Tara putri Batara Indra, berwadya bala wanara, dengan Patih Anila, dan senopati perangnya Anoman wanara putih putra Anjani. Karena tipu muslihat Rahwana, maka goyahlah singgasana negara Gua Kiskenda dan runtuh setelah Subali menyerangnya. Sebenarnya Rahwana menghendaki kematian Subali kakak Sugriwa ini, karena dengan masih hidupnya Subali, berarti akan terhalang semua niat Rahwana. Dengan demikian Sugriwa kehilangan kemuliaan, ia hidup penuh penderitaan, dan akhirnya bertapa kembali untuk mencapai cita-citanya, kesempurnaan hidup dunia akhirat. Akhirnya Sugriwa dipertemukan dengan Sri Rama Wijaya yang sedang kehilangan istri Dewi Sinta. Dalam pertemuan itu masing-masing berjanji akan bahu-membahu untuk kepentingan mereka, bersama-sama membinasakan keangkaramurkaan dunia. Atas bantuan Sri Rama Wijaya, Sugriwa dapat menyerang kembali Gua Kiskenda. Walaupun Subali memiliki aji Pancasona, tetapi karena berada pada pihak yang salah khususnya telah memberi aji Pancasona pada Rahwana si angkaramurka, maka Subali dapat dibinasakan oleh Sri Rama Wijaya dengan panah Guwawijaya. Sugriwa mendapatkan kembali negara, istrinya, demikian juga kehormatannya sebagai seorang raja yang besar. Sebagaimana janjinya kepada Sri Rama, Narpati Sugriwa kemudian membantu mengembalikan Dewi Sinta permaisuri Sri Rama, yang menjadi tawanan Rahwana di negara Alengka, dengan mengerahkan seluruh angkatan perang wanaranya menggempur Alengka.
Narpati Sugriwa berwajah kera, berjamang tiga susun, bermahkota, berpraba, berekor kera, berkain katongan. Wayang ini ada yang mengelompokkan sebagai wayang kelompok dudahan golongan wanara, tetapi karena dalam pergelaran-pergelaran sering disimping, maka dalam buku ini dikelompokan sebagai wayang simpingan kiri.
11. RESI SUBALI.
Subali adalah putra Resi Gotama dengan Dewi Indradi dipertapaan Grastina. Ia mempunyai saudara sekandung dua orang: yaitu Dewi Anjani kakaknya, Sugriwa adiknya. Di dalam pedalangan, Subali disebut Guwarsi, parasnya tampan. Paras yang tampan berubah wujud menjadi wanara/kera, karena terjun ke dalam telaga Sumala sewaktu berebut "Cupu Manik Astagina" yang dibuang oleh ayahnya. Atas perintah ayahnya, ia bertapa ngalong (menggantung seperti kalong) di hutan Sunyapringga untuk menebus penderitaannya dan memperbaiki kesalahannya yang pernah dibuat, menginginkan Cupu Manik Astagina yang bukan miliknya. Atas ketekunannya bertapa ia mendapatkan aji Pancasona, yang berarti hidup rangkap lima. Pada waktu Rahwana melanglang jagat, melayang-layang tinggi di atas angkasaraya, oleh karena melangkahi tempat Subali bertapa, Rahwana terkena perbawa Resi Subali, jatuh seketika di hadapan Resi Subali. Rahwana marah dan terjadi perang tanding dengan Resi Subali. Walaupun berkali-kali Rahwana dapat membunuh Subali, karena adanya aji Pancasona, Subali selalu bangkit menyerang dan akhirnya dapat menaklukkan Rahwana. Rahwana sangat hormat sekali pada Resi Subali, karena melihat kesaktian Resi Subali yang luar biasa itu, bahkan akhirnya berguru pada Resi Subali agar dapat aji Pancasona. Melihat kesetiaan dan kerendahan hati Rahwana, Resi Subali akhirnya jatuh belas kasihan dan diajarkannya juga aji Pancasona. Di sinilah kekeliruan Resi Subali, karena terlalu belas kasihan pada Rahwana, sehingga diajarkan aji Pancasona yang sebenarnya oleh Rahwana akan disalah gunakan untuk melepaskan keangkaramurkaannya. Setelah memiliki aji Pancasona, merasa tidak ada yang dapat mengalahkan di dunia ini, kecuali Resi Subali yang masih disegani. Oleh karena itu Rahwana berusaha untuk membunuh Resi Subali dengan tipu muslihatnya yang sangat licin. Pada waktu Kahayangan Suralaya akan diserang raja Gua Kiskenda Prabu Mahesasura, Subali dan Sugriwa diminta bantuannya oleh Dewa untuk membinasakan Prabu Mahesasura dan Jatasura. Maka berangkatlah keduanya ke Gua Kiskenda, setibanya Subali masuk ke dalam gua dengan pesan: apabila nanti mengalir darah putih, Sugriwa adiknya agar menutup pintu gua dan melaporkan kematiannya kepada Batara Indra. Ternyata darah merah dan putih mengalir dari dalam gua, sehingga Sugriwa menutup pintu gua dengan batu yang sangat besar, karena Sugriwa mengira kakaknya mati berbarengan dengan Prabu Mahesasura dan Jatasura. Sugriwa kemudian melaporkan kepada Batara Indra, bahwa kakaknya Subali telah tewas berbarengan dengan Mahesasura dan Jatasura. Oleh karena itu hadiah berupa kerajaan Gua Kiskenda dan Dewi Tara menjadi milik Sugriwa, atas dasar amanat Subali. Namun kenyataannya Subali belum tewas, karena Mahesasura dan Jatasura diadu kumba kepala mereka hingga isi otaknya keluar yang menyebabkan warna darah yang mengalir keluar gua berwarna merah campur putih. Waktu ia akan keluar gua, pintu keluar telah terhalang oleh batu. Ia mengira bahwa hal tersebut adalah perbuatan adiknya yang dilakukan dengan sengaja. Dengan sangat marah ia menggempur batu tersebut hingga hancur lebur. Subali keluar dan segera menyusul adiknya ke Kahayangan dengan membawa kemarahan dan kebenciannya. Subali menemui Sugriwa yang sedang berkasih-kasihan dengan Dewi Tara. Karena kemarahan dan kebenciannya, tanpa sepengetahuan adiknya, Sugriwa dihajarnya. Sugriwa terpaksa mempertahankan diri dan menjelaskan apa yang sebenarnya telah terjadi di sela-sela peperangan itu. Nampaknya penjelasan adiknya dapat menembus hatinya yang paling dalam hingga dapat meredakan kemarahan Subali. Subali kemudian mengakui kekhilafannya dan pergi melanjutkan tapanya di Sunyapringga, sedangkan Sugriwa dilantik menjadi raja kerajaan Gua Kiskenda bergelar Narpati Sugriwa dengan permaisuri Dewi Tara.
12. RADEN INDRAJIT.
Raden Indrajit adalah putra kepercayaan Prabu Rahwana raja Alengka, ibunya Dewi Tari putri Batara Indra. Ia sering diutus ayahnya menaklukkan raja-raja untuk memperluas jajahannya dengan menggunakan kekuatan bala tentaranya, hingga banyak negara-negara kecil takut dan menyerah di bawah naungan kerajaan Alengka. Kecuali sakti, Raden Indrajit mempunyai pusaka-pusaka andalan yang disebut Nagapasa dan Panahrantai. Ia memiliki aji sirep Begananda, artinya dapat menidurkan orang dengan paksa. Aji sirep Begananda ini pernah digunakan untuk menculik Sri Rama Wijaya dan Raden Lesmana, namun ketahuan dan gagal. Dengan Nagapasa ia pernah melumpuhkan seluruh bala tentara kera Prabu Rama. Dengan Panahrantainya ia pernah menangkap Anoman, yang kemudian dibakar atas perintah ayahnya. Peristiwa ini diceritakan dalam lakon "Anoman Obong" atau "Anoman Duta". Setelah Patih Prahasta gugur di medan perang, Raden Indrajitlah yang diutus ke kesatrian Pangleburgangsa membangunkan pamannya Raden Kumbakarna dari tapa tidurnya. Indrajit maju ke medan peperangan pada babak terakhir setelah senopati ulung Alengka banyak yang tewas. Ia berhadapan dengan saudara sepupunya Jaya Anggada. Akhirnya Indrajit dapat dibinasakan oleh Lesmana dengan panah saktinya yang bernama Surawijaya.
Wayang Raden Indrajit berhidung dempak, bermata plelengan, bermulut gusen bertaring, berjamang tiga susun, bergelung kadal menek dengan garuda membelakang dan utah-utahan yang agak panjang, di samping rambut terurai di bahu, berkalung ulur-ulur, berkain katongan. Wayang ini ada yang menyebutkan sebagai wayang dudahan, golongan putran. Karena dalam pergelaran-pergelaran sering terlihat wayang ini selalu disimping di sebelah kiri, maka di buku ini dikelompokkan sebagai wayang simpingan. Di sini ditunjukkan dua wayang tokoh Raden Indrajit, salah satu muka disungging merah muda, sedangkan yang lain muka disungging warna prada dengan diberikan sampir di bahu belakang.
13. ADIPATI KARNA.
Adipati Karna disebut juga Suryatmaja atau Suryaputra. Ia sebenarnya adalah putra Dewi Kunti yang lahir tanpa suami akibat memiliki aji "Kunta Kawekas Cipta Tunggal Kang Tanpa Lawan". Aji ini diperoleh dari Resi Druwasa, kasiatnya jika mengucapkan mantra aji pemeling ini dapat mendatangkan Dewa dari Suralaya. Suatu ketika dicobanya aji itu oleh Dewi Kunti hingga Batara Surya datang dan mengakibatkan Dewi Kunti mengandung. Karena kesaktian Resi Druwasa bayi yang dikandung dapat dilahirkan melalui telinga. Begitu lahir pria diberi nama Karna/Suryatmaja/Suryaputra yang dituliskan pada lontar dan kemudian bayi tersebut dimasukkan dalam kendaga dihanyutkan ke sungai Gangga. Oleh Radeya adirata atau sais kereta kerajaan Astina, bayi dalam kendaga itu ditemukan dan dipungut sebagai anak, karena Radeya belum juga dikaruniai anak. Suryatmaja setelah dewasa sangat menekuni olah keprajuritan dan kanuragan. Ia bertapa karena ingin mendapatkan pusaka sakti dan ampuh. Pada waktu Batara Narada diutus Batara Guru untuk menghadiahkan senjata Kuntawijayadanu kepada Permadi, di tengah perjalanan berjumpa Suryatmaja yang disangka Permadi, karena wajahnya mirip, di samping matahari ditutup oleh Batara Surya sehingga Batara Narada tambah kurang awas penglihatannya. Senjata Kuntawijayadanu telah diberikan Suryatmaja, namun kemudian Batara Narada dalam perjalanannya jumpa dengan orang yang sebenarnya akan diberi hadiah, yaitu Permadi. Maka perihal yang baru saja terjadi, diberitahukan pada Permadi. Oleh karena Permadi memang memerlukan senjata tersebut yang akan digunakan untuk memotong pusar Tutuka/Gatotkaca atas petunjuk kakeknya Begawan Abiyasa, bahwa tidak ada senjata yang mampu memotong pusar Tutuka, kecuali dengan senjata Kuntawujayadanu yang mengandung kayu Kastubamulya. Maka dikejarlah Suryatmaja oleh Permadi untuk memperebutkan senjata tersebut. Terjadilah perebutan senjata oleh kedua ksatria yang berwajah mirip. Batara Narada melerai, dan memberikan keputusan, karena Permadi memerlukan senjata hanya untuk memotong pusar Tutuka kemenakannya dan tidak dimiliki untuk selama-lamanya, maka Suryatmaja rela meminjamkan untuk keperluan Permadi tersebut, namun Suryatmaja sendirilah yang akan memotongnya. Sampai di Pringgandani Suryatmaja berhasil memotong pusar Tutuka, tetapi ia kaget dan lari dengan membawa senjata Kunta, karena rangka senjata itu masuk ke dalam tubuh sang bayi.
Dalam lakon "Pendadaran Siswa Sokalima", Suryatmaja ikut masuk gelanggang, ingin menyaingi kehebatan Permadi dalam hal olah panah, tetapi karena ia bukan keturunan seorang raja Astina, melainkan hanya anak seorang kusir/sais Radeya, maka ditegur oleh Raden Bratasena, ia pun malu lari dari gelanggang. Pada saat itulah Kurupati atas saran pamannya Sengkuni mengangkat Suryatmaja sebagai keluarga Korawa sehingga ia memiliki hak setingkat Permadi. Di sinilah Suryatmaja memperoleh harga diri, memperoleh kemuliaan, sehingga sampai akhir hayatnya tetap akan membela Korawa, walaupun akhirnya ia tahu bahwa Pandawa itu sebenarnya adik-adik kandungnya seibu.
Pada waktu perang Baratayuda akan pecah, Prabu Kresna telah menjumpai Adipati Karna, menanyakan bagaimana nanti dalam perang Baratayuda, apakah tidak sebaiknya ikut membela adik-adiknya Pandawa. Sang Karna tetap pada pendiriannya sebagai senopati Korawa, memang ialah yang dengan sengaja menghendaki perang tersebut, untuk menebus kemuliaan dan harga dirinya yang diterimanya dari Prabu Duryudana. Sudah sewajibnya ia harus menunjukkan balas budi sebagai ksatria, justru bila Karna ikut membantu adik-adiknya Pandawa, kawatir dicemooh dan diketawai dunia seisinya, di samping tindakannya itu dapat mengangkat derajat Pandawa, karena negara yang diperoleh memang melalui perjuangan, pengorbanan, dan bukan pemberian begitu saja. Dalam perang Baratayuda ia berjanji akan bertanding dalam medan perang melawan adiknya Raden Janaka, jika Janaka gugur Pandawa tetap lima, begitu juga jika ia yang gugur Pandawa masih tetap lima, demikian kiat Adipati Karna. Dewi Kunti pun pernah mendatangi Adipati Karna putranya saat perang.
Sumber :http://suwadikrijotaruno.blogspot.com