Minggu, 27 Februari 2011

JOKO SAMUDERA DAN PETILASAN

"TUMBU WADHAE BUMBU... WAKUL WADAHAE SEGO...
TERUMBU OMAHE IWAK... GERUMBUL OMAHE LUWAK..."
Pantai putih Watu Ulo dipenuhi pengunjung. Sayang kurang terawat [Dok. LKM Pontang Membangun, PNPM Perkotaan]
Bagi warga Jember dan sekitarnya, Watu Ulo sudah dikenal sejak zaman dahulu. Tidak hanya sekadar tempat jujugan dalam berwisata, Watu Ulo juga menjadi tempat mencari nafkah bagi masyarakat pinggir pantai. Sayang, hingga kini, Watu Ulo tak mengalami perubahan. Seolah keindahan alamnya dibiarkan begitu saja, dan terabaikan.
Watu Ulo adalah sebuah pantai yang terletak di Kecamatan Ambulu, Jember, Jawa Timur. Pantai ini merupakan gugusan Samudera Indonesia, atau biasa disebut pantai selatan. Letaknya di sebelah selatan Kabupaten Jember, sekitar 45 menit dari pusat kota.
Lokasinya bisa dikunjungi dari dua jalur. Yakni, dari jalur pusat kota menuju ke Kecamatan Jenggawah, dan berlanjut ke Kecamatan Ambulu. Sedangkan jalur kedua bisa menggunakan jalan dari pertigaan Rambipuji menuju ke Kecamatan Balung, kemudian berlanjut ke Kecamatan Ambulu. Bisa dilintasi oleh kendaraan apa saja karena jalan menuju ke sana sangat lapang dan mulus.
Watu Ulo, dalam bahasa Jawa berarti batu ular. Syahdan, di tempat itu dulu tinggal pasangan suami istri yang bernama Aki dan Nini Sambi. Kedua pasangan suami istri ini memiliki seorang anak bernama Joko Samudera. Untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, pasangan suami istri yang harmonis ini mencari kayu bakar di bukit-bukit sekitar pantai. Sedangkan, anak mereka, Joko Samudera mencari ikan di laut.
Pemandangan Pantai Papuma yang bersebelahan dengan Watu Ulo, Jember [Dok. LKM Pontang Membangun, PNPM Perkotaan]
Suatu ketika, Aki dan Nini Sambi yang sedang mencari kayu bakar di hutan, dikejutkan oleh suara tangis bayi. Mereka mencari sumber suara tersebut dan menemukan seorang bayi lelaki yang montok dan tampan. Melihatnya, Nini Sambi langsung jatuh hati.
Dia memohon pada sang suami, agar si anak bisa mereka rawat. Melihat sang istri begitu ingin mengasuh bayi tersebut, Aki Sambi mengijinkan. Dan mereka memberi nama bayi tersebut Marsudo.
Waktu berjalan membuat kedua bocah lelaki ini tumbuh dewasa. Mereka selalu bergantian mencari ikan di laut untuk kebutuhan hidup keluarga. Di suatu hari yang cerah, Marsudo yang sedang memancing, tersentak karena pancingnya bergoyang.
Diangkatnya, pancing itu dan betapa terkejutnya dia ketika melihat seekor ikan yang besar nyangkut di mata pancingnya. Lebih terkejut lagi, ikan itu bisa bicara. Dia ingin Marsudo melepaskan dirinya dan sebagai gantinya, setiap keinginan Marsudo akan dikabulkan.
Kasihan dan merasa tidak tega, Marsudo melepaskan ikan yang ternyata bernama Raja Mina itu. Dengan penuh rasa terima kasih, Raja Mina berenang dengan bebas. Perbuatan Marsudo yang melepaskan ikan sangat besar ini ternyata membuat Aki Sambi marah, hingga dia membuat berantakan nasi yang akan dimakannya. Nantinya, nasi tersebut akan berubah menjadi pasir putih di Pantai Pasir Putih Jember.
Pemandangan Watu Ulo yang indah, dipenuhi kapal nelayan [Dok. Wahdan31 on "panoramio.com"]
Sementara itu, untuk menghilangkan kejengkelan sang ayah, Joko Samudera memancing ikan di laut menggantikan adiknya. Namun, malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Bukannya mendapat ikan, dia malah mendapat seekor ular besar. Ular ini mengamuk karena kait pancing Joko Samudera melukai tubuhnya.
Tak mau menyerah, Joko Samudera melakukan perlawanan. Duel sengit tak dapat dihindarkan. Melihat sang kakak pontang-panting melawan ular raksasa, Marsudo memanggil Raja Mina.
Dia meminta janji Raja Mina ditepati. Yakni, semua keinginanya dikabulkan. Dia ingin kakaknya menang melawan sang ular raksasa. Mendengar permintaan Marsudo, Raja Mino memberinya sebatang cemeti.
"Pukul dua kali, maka tubuhnya akan terbelah jadi tiga. Pisahkan ketiga bagian tubuhnya ke tiga tempat, hingga dia tidak bisa bersatu. Kalau bersatu dia akan hidup kembali. Begitu kata Raja Mino pada Marsudo," terang Kalsum, seorang penduduk Watu Ulo, yang sudah sejak tahun 1989 bermukim di kawasan itu.
Begitulah legenda yang membuat pantai tersebut bernama Watu Ulo. Di pinggir pantai, memang ada gugusan batu, yang jika diamati mirip dengan anatomi tubuh seekor ular. Panjang dan berlekuk-lekuk. Model batuannya pun seperti sisik. Bahkan, masih menurut Kalsum, pernah ada seseorang yang mencungkil batu itu. Tapi, akhirnya dikembalikan, karena batu itu mengeluarkan darah.
Pemandangan Watu Ulo dilihat dari atas bukit [Dok. vincentfromsby.wordpress.com]
Terlepas dari legenda dan mitos tentang Watu Ulo, pantai ini sesungguhnya potensi alam yang layak dikelola. Sayang, sampai saat ini pantai tersebut seperti dibiarkan tumbuh dengan sendirinya.
"Sejak tahun 1989 sampai sekarang, tidak berubah," sambungnya. Kondisi ini jelas sangat memprihatinkan. Padahal, jika dikelola dengan baik, Watu Ulo akan semakin menarik perhatian masyarakat. Tidak hanya masyarakat Jember sekitarnya, tapi juga dari luar kabupaten.
Begitu banyak hal tersia-siakan di kawasan pantai ini. Pohon-pohon waru yang dibiarkan tumbuh asal-asalan mengakibatkan daun gugur dan mengotori kawasan pantai. Ada juga kawasan pantai yang dibiarkan kosong. Tidak ada tanaman yang bisa menjadi tempat berlindung dari sengatan panas matahari. Arena bermain untuk anak sempat didirikan, tapi terabaikan dan dibiarkan termakan usia dan cuaca. Yang tertinggal hanya besi-besi berkarat bekas ayunan anak-anak.
"Kami warga setempat sangat berharap Watu Ulo bisa dikelola dengan baik. Sebenarnya kan satu pantai dengan Papuma. Hanya beda yang mengelola, makanya Watu Ulo jadi begini," kata Kalsum.
Sebagai warga yang tinggal di Watu Ulo, wajar jika ia berharap ada penanganan yang baik, sebab Watu Ulo sangat prospek sebagai tempat wisata yang menjanjikan penambahan penghasilan bagi warga sekitar.
Tidak hanya itu, dengan pengelolaan yang maksimal sebagai objek wisata, Watu Ulo tidak akan dijadikan tempat remaja melakukan hal-hal negatif, seperti mabuk-mabukan dan seks bebas. Pasalnya, menurut Kalsum, jika malam minggu tiba, banyak anak muda yang mabuk-mabukan dan melakukan perbuatan mesum di kawasan pantai. Hal ini sangat meresahkan warga sekitar, mengingat banyak anak kecil yang tinggal di kawasan tersebut. "Kalau ada yang menjaga, nggak bakalan ada yang berani berbuat seperti itu," pungkasnya. (Sigit Winoto, Koordinator LKM Pontang Membangun, disalin dari Radar Jember, Edisi 4 Juli 2010 oleh lie; Firstavina)
Sumber : Clik here
Browser : Soelistijono