"Wong Jowo kudhu eling marang Jowo'e... Sak piro rekoso'e cikal-bakal'e mbah'e awak'e dhewe mbabat Tanah Jawo"
ADA satu kisah menarik dalam petilan “Babad Tanah Jawa”. Meskipun kisah ini merupakan petilan. Namun intisari yang tertanam di dalamnya, ternyata tetap masih aktual di saat ini sekali pun. Ketika itu, datanglah para ulama dari “Sebrang Lautan” (Mesir) ke Tanah Jawa. Tujuan para ulama utusan Sultan Mesir itu adalah untuk menyebarkan agama Islam, yang menurut laporan masih banyak penduduk Jawa yang kafir. Para ulama itu dipimpin seorang Syeh yang bernama Syech Subakir Sebelum Syech Subakir datang, telah beberapa kali ulama pendahulunya menginjakan kakinya di Tanah Jawa. Namun, setiap kali mereka datang, selalu gagal menyebarkan agama Islam. Mengapa?
Pertanyaan itulah yang berada di benak Syech Subakir. Dan tidak berapa lama setelah sampai ke Tanah Jawa, Syech asal Persia (Iran) itu berhasil mendapatkan jawaban dari pertanyaannya tersebut. Ternyata, seluruh Tanah Jawa dari ujung Timur sampai ke Barat di jaga oleh bangsa jin yang dipimpin Sabdo Palon. Kegagalan para ulama sebelumnya adalah karena ulah mereka, para jin kafir yang tidak mau masuk Islam dan menentang Islam berkembang di Tanah Jawa. Untungnya, Syech Subakir menguasai ilmu tentang makhluk halus, sehingga dia dan para ulama yang dipimpinnya berhasil mengetahui keberadaan para jin tersebut.
Dalam wujud kasarnya, para mahluk halus itu ada yang berujud ombak yang besar yang mampu menenggelamkan kapal berikut penumpangnya. Juga angin puting beliung, dan sebagainya yang mampu memporak-porandakan apa saja yang ada dihadapannya, termasuk menjelma menjadi hewan buas, harimau, ular dan sebangsanya. Perubahan bentuk dan ujud itulah yang selama ini diduga mencelakakan para ulama yang bermaksud menyebarkan Islam di Tanah Jawa. Maka kemudian terjadilah pertempuran yang dasyat antara para jin pimpinan Sabdo Palon dengan pasukan ulama pimpinan Syech Subakir.
Konon, pertempuran itu terjadi selama berhasi-hari, tanpa ketahuan siapa yang bakal memenangkannya. Karena melihat situasi yang tidak menguntungkan, maka Sabdo Palon mengajukan usulan gencatan senjata. Syech Subakir yang melihat itu sebuah peluang, menerima ajakan Sabdo Palon. Maka terjadilah kesepakatan antara keduanya. Isi kesepakatan antara lain, Sabdo Palon memberi kesempatan kepada Syech Subakir beserta para ulama untuk menyebarkan Islam di Tanah Jawa, tetapi tidak boleh dengan cara paksaan atau memaksa.
Kemudian Sabdo Palon juga memberi kesempatan kepada orang Islam untuk berkuasa di Tanah Jawa—Raja-raja Islam—namun dengan catatan. Para Raja Islam itu silahkan berkuasa, namun jangan sampai meninggalkan adapt istiadat dan budaya yang ada. Silahkan kembangkan ajaran Islam sesuai dengan kitab yang dakuinya, tetapi biarlah adapt dan budaya berkembang sedemikian rupa. Dan yang terpenting, jadi pemimpin janganlah terlalu lurus, namun juga jangan terlampau bengkok. Hal ini sempat dipertanyakan Syech Subakir kepada Sabdo Palon, mengapa seorang pemimpin tidak boleh benar-benar lurus. Dijawab Sabdo Palon, karena pemimpin itu menjadi pimpinan semua orang. Dan orang tidak semuanya lurus, pasti banyak pula yang bengkok. Lha, orang yang bengkok-bengkok itu akan ikut siapa, bila pemimpinnya lurus?
Benar tidaknya legenda tersebut, itulah sebuah kisah yang konon pernah terjadi dalam petilan “Babad Tanah Jawa”. Karena itu tidak mengherankan, jika banyak Raja Jawa, meskipun beragama Islam, namun tetap mereka menjaga kelestarian kebudayaan leluhur, seperti nyepi dan sebagainya. Lantas apa hubungan semua ini dengan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi? Secara langsung tidak ada, tetapi kita berharap bagian dari kisah atau legenda ini dapat terserap oleh Mendagri Gamawan. Mengapa? Karena ada beberapa aspek penting yang harus diketahui, dan perlu ditelaah. Beberapa waktu yang lalu, Gamawan membuat kejutan dengan kebijakan penghentian semua upah pungut. Kabarnya, usulan penghentian tersebut berasal dari usulan pejabat di lingkungan eselon II Depdagri.
Usulan itu mungkin bagus, jika ditinjau dari satu sisi. Namun ditinjau dari sisi lainnya, mestinya Mendagri perlu mengkaji lebih dulu. Apakah memang harus begitu, atau perlu cara lain yang lebih bermanfaat dan dapat diterima semua pihak. Sebab apa artinya, jika kebijakan itu sudah “dibunyikan” pada kenyataannya tidak dapat dipraktekan, karena banyak hal yang menghambat. Misalnya, ada seorang pembantu yang digaji pas-pasan, sementara si majikan meminta dia membeli makanan atau barang lain yang tempatnya cukup jauh tanpa memberi uang saku. Mungkinkah pembantu tadi akan melaksanakan perintah tersebut? Jawabnya ada beberapa kemungkinan, Pertama, jika dia adalah seorang pembantu yang bodoh dan patuh, pasti mau. Karena orang semacam ini tidak memperhitungkan untung rugi yang ada hanyalah kepatuhan. Pertanyaannya adalah mungkinkah semua orang akan berlaku seperti pembantu tadi?
Kedua, mungkin perintah tadi dilaksanakan sang pembantu, tetapi tidak dibelikan sebagaimana yang diminta sang majikan. Sebab kalau sesuai dengan perintah, maka mau atau tidak dia harus rugi mengeluarkan biaya untuk transportasi dan sebagainya. Sementara gaji yang diterima pas-pasan. Ketiga, mungkin tidak dilaksanakan, dengan resiko dimarahi, atau mungkin pula dilaksanakan dengan diberikan barang tiruan atau palsu. Pertanyaannya adalah apakah ini yang kita inginkan? Di banding departemen lain, Departemen Dalam Negeri (Depdagri) adalah yang paling belakang melakukan numerisasi. Mungkin untuk departeman lain, misalnya Depkeu, Menkeu dapat berlaku sebagaimana yang dilakukan Gamawan Fauzi. Karena gaji terendah karyawan Depkue tiga kali gaji karyawan terendah di Depdagri. Persoalan macam inilah apakah sudah dipahami atau belum?
Sabdo Palon mengatakan, pemimpin tidak mungkin lurus benar, juga tidaklah boleh bengkok-bengkok amat. Ini artinya, seorang pemimpin, termasuk Mendagri harus memahami situasi, mengerti sikap batin para karyawannya. Jika ini benar-benar dipahami dan dimengerti, maka kita yakin Gamawan Fauzi akan mendapat dukungan dari seluruh karyawan. Namun, jika tindakannya terlihat aneh dan dianggap tidak memahami sikap batin bawahannya. Maka jangan salahkan jika nantinya ditinggalkan para anak buahnya, dan itu jangan salahkan kepada karyawan. Hal-hal semacam inilah yang mesti diperhatikan, karena dengarlah kata semua orang, dan ambilah yang terbaik. Akhirnya, semoga sukses!
Oleh : ARIEF TURATNO
Sumber : Clik here
Browser : Soelistijono