LEGENDARIS :
Zaman Romawi kuno, Gladiator sangat populer sebagai seorang petarung. Dalam Bahasa Latin disebut gladiatōrēs yang berarti “ahli pedang” atau “orang yang menggunakan pedang”, asal katanya dari kata gladius yang bermakna “pedang”. Kisah mereka disebutkan dalam banyak catatan maupun rekaman sejarah, film tentang kehebatan mereka pun berjudul-judul banyaknya. Di sorot dari berbagai sisi kehidupan, Gladiator tetaplah gladiator, menarik untuk disimak dan dikupas keberadaannya. Setiap akan memasuki arena para gladiator akan berteriak, “nos morimuti te salutamus” yang ditujukan kepada penguasa (kita adalah yang akan mati untuk menghormatimu).
Gladiator yang dipilih untuk bertarungan biasanya adalah tawanan perang, kriminal dan para budak yang dilatih terus menerus oleh mantan Gladiator. Namun, tidak sedikit pula yang datang sendiri menawarkan diri karena tergiur dengan kekayaan dan wanita tentunya. Bahkan, tak jarang mereka para jawara arena itu menjadi sosok yang banyak dikagumi oleh kaum wanita sehingga menjadi objek seksual kaum bangsawan.
Menurut beberapa catatan, Gladiator bukan cuma menjadi tontonan atau hiburan semata, namun juga dapat menjadi jenjang karir dan kejayaan para petarung, termasuk untuk mendapatkan sebuah kemerdekaan. Hal ini dibuktikan oleh Commondus Lucius Aelius Aurelius (161-192 Masehi) yang kemudian sukses menjadi kaisar Romawi. Ia telah melewati lebih dari seribu pertarungan yang mematikan, bahkan setelah menjadi kaisar pun ia masih tetap bertarung di arena. Sehingga, karir politik dan kehebatannya pun juga berakhir di arena, setelah dicekik oleh Narcissus sampai tewas dalam sebuah pertarungan sengit.
Hari ini, gladiator bangkit kembali mencari lawan dan bahkan menciptakan sendiri arenanya. Kalau dulu mereka bertahan hidup sendiri-sendiri, sekarang mereka berkoloni dengan para majikannya. Sudah tidak bisa lagi kita membedakan mana yang gladiator, mana tuannya. Arenanya pertarungannya pun semakin luas karena pertarungan tidak lagi satu lawan satu, tapi bisa antar kelompok besar. Penonton pun telah menjelma menjadi gladiator-gladiator baru, mereka sudah tidak peduli dengan apa yang mereka saksikan, bagi mereka yang penting siapa pun pemenangnya mereka harus siap-siap menjadi pemenang atau korban berikutnya.
Betapa susahnya pikiran saya mencari analogi yang pas untuk menggambarkan apa yang ingin saya ceritakan tentang proses mencari Calon Pimpinan KPK. Begitu banyak kriteria yang telah diusulkan oleh para pengamat dan berbagai koalisi masyarakat anti korupsi termasuk perorangan, hampir semuanya baik. Sehingga ada juga ujaran, yang muncul bahwa kita tidak sedang mencari sosok malaikat. Saya jadi ingat lagu Iwan Fals, maaf saya modif sedikit,
Kalau Gladiator, berjuang dan bertarung untuk mencapai tujuan dan kejayaan pribadi. Sedangkan, warrior (pejuang) cenderung berjuang untuk kepentingan rakyatnya. Seorang pejuang harus mempunyai daya tahan yang tinggi, keberanian dan tekad yang kuat untuk mencapai tujuannya bahkan ia dituntut untuk rela berkorban atau mengorbankan dirinya demi kesejahteraan dan kejayaan bersama.
Pansel telah menutup secara resmi pendaftaran calon Pimpinan KPK. Sejumlah orang telah menyiapkan diri untuk bertarung di arena penyisihan, tentunya berbagai jurus dan senjata pamungkas telah disiapkan, tidak lupa tameng untuk menghindari serangan lawan. Sementara khalayak, mulai mengukur dan menilai kemampuan para jagoannya. Analisis dan komentar para pengamat pun mulai meramaikan hari-hari kita melalui media masa. Sebagian dari khalayak tidak mau tinggal diam, bahkan mereka telah “memenangkan” satu jagoannya di arena sebelum bertarung memperebutkan posisi lima besar.
Pandawa Lima
Sering kita mendengar bahwa lima pimpinan KPK dianalogikan juga sebagai Pandawa Lima. Saya sebagai orang bukan Jawa agak lama juga membanding-bandingkannya. Sosok seperti apa yang sesungguh sedang dicari ? Apakah orang seperti Yudhistira, putra Pandu tertua yang konon seumur hidupnya hampir tidak pernah berdusta, saking sucinya, darahnya pun berwarna putih tanpa noda. Ia sangat bijaksana dan memiliki moral yang sangat tinggi sehingga ia tidak memiliki musuh. Apakah seperti Sosok Arjuna yang gagah dan tampan namun jago dalam memanah dan strategi perang. Atau, seperti sosok Bima yang katanya berwajah angker, namun sangat baik hati juga seorang yang ahli memainkan senjatanya, yaitu gada. Sedangkan Nakula dan Sadewa merupakan dua kembaran yang merupakan penjelmaan Dewa Aswin, sang ahli pengobatan. Di akhir, kisah mahabharata yang legendaris itu dikisahkan mereka semua mati secara moksa (mendapat syurga), setelah melakukan perjalanan suci ke Himalaya bersama-sama sebagai tujuan akhir hidup mereka.
Pertanyaannya apakah sosok-sosok seperti kisah diatas masih ada saaat ini ?
Gladiator dan pandawa lima adalah epik heroik masa lalu yang lahir dari dua utopia yang berbeda. Medan pertempuran yang mereka lalui walau sangat berbeda, namun mempunyai satu kesamaan yaitu selalu berakhir dalam genangan darah.
Mencari Manusia Setengah Dewa saja.
Hanya dibutuhkan lima saja dari duaratusan juta orang di Republik ini yang menghirup nafas kemerdekaan secara gratis. Tidak perlu mencari Dewa penuh, setengah dewa pun cukup. Pansel telah mengantongi sejumlah nama. Semoga dalam waktu yang tidak terlalu lama bisa di dapatkan delapan nama seperti usul pansel sampai sepuluh nama, sebagaimana keinginan sebagian anggota DPR. Intinya, yang dibutuhkan hanya lima, itu pun kalau Busyro Muqoddas masih harus direstui lagi oleh DPR.
Medan pertempuran sudah berubah, pemenang tidak lagi ditentukan oleh ketangguhan dan kehebatan strategi perang mereka di dalam arena. Tapi, pemenang ditentukan oleh lotre suara yang dikontrol oleh mereka yang berkuasa. Penonton hanya bisa pasrah, karena mungkin siapa yang menjadi pemenangnya sudah diatur sebelumnya.
Sekarang kita hanya bisa berharap, semoga para prajurit yang sudah malang melintang di pertempuran Kurusetra pemberantasan korupsi.