CERITA LEGENDARIS :
Hasil blog walking di negeri Antabarantah....
“Bertahun-tahun aku melatih diri di gua hantu ini. Tapi hanya seekor lebah saja yang dapatku babat. Bagaimana dapat aku mengalahkan si Mata Malaikat yang sangup mencabut tiga-empat nyawa sekaligus? Sia-sialah jerih payahku”
Dalam keputusasaannya, Barda bagaikan orang gila. Ia bersilat dan bersilat hingga ia rubuh kehabisan tenaga. Namun setelah itu, dengan gerak reflek disabetkan goloknya ke udara. Tiga ekor lalat berhasil dibabat olehnya.
“Mempergunakan telinga adalah lebih sempurna daripada mata. Aku mengerti. Si Mata Malaikat. Dia buta, tapi dia dapat mempergunakan telinganya untuk dapat membedakan letak suara, jenis, dan bentuknya”.
Barda langsung membutakan kedua matanya dengan goloknya yang tajam itu.
Itulah detik-detik ketika Barda Mandrawata mendeklarasikan diri menjadi Si Buta dari Gua Hantu. Saat itu Barda berada di sebuah gunung, dimana terdapat air terjun dan gua yang dikenal sebagai gua hantu.
Bertahun-tahun ia berada di gunung tersebut meninggalkan desanya untuk memperdalam ilmu bela dirinya. Ia dendam pada Mata Malaikat yang telah membunuh sang ayah: Paksi Sakti Indrawatara. Saat hidup di dalam gua, banyak pahatan di dinding yang menuliskan dan menggambarkan jurus-surus silat. Dikisahkan ada seorang pertapa sakti yang pernah tinggal di dalam gua dan memahatkan jurus ilmu silatnya untuk diwariskan. Sambil mempelajari jurus ilmu silat pertapa sakti itu, Barda bertahan hidup dengan memakan daging ular yang dikeringkan. Kulit ularnya itulah yang kelak dijadikan pakaian.
Si Buta dari Gua Hantu merupakan ikon komik nasional. Tak ada orang yang tak mengenal sosok Si Buta. Dari generasi ke generasi, Si Buta masih tetap melegenda. Tak heran jika kisah Si Buta dianggap sebagai salah satu karya seni klasik milik Indonesia.
Adalah Ganes TH pencipta tokoh Si Buta. Hari ini, 10 Juli tujuhpuluh enam tahun lalu, tepat komikus kelahiran Tangerang ini lahir. Pria ini adalah anak ke-4 dari 5 bersaudara pasangan ayah bernama Thirta Yahya Santosa dan sang ibu Sofiah Linawati.
Bakat melukisnya ditekuni sejak ia masih duduk di bangsu SMP di Tionghoa Hwee Koan (THK), Jakarta. Saat itu ia sudah mampu membuat gambar untuk spanduk kedai bubur kacang hijau langganannya. Ia masih ingat, upahnya menggambar adalah semangkuk bubur kacang hijau. Gara-gara kemampuan menggambarnya itu, beberapa pedagang yang mangkal di dekat kedai bubur kacang hijau, minta dibuatkan gambar.
Lulus SMA, Ganes mencoba kuliah di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI), Yogyakarta. Sayang, akibat masalah keuangan, ia akhirnya harus drop out (DO). Meski begitu, keinginannya untuk menjadi pelukis tetap besar. Tak heran ia pun mengambil pendidikan non-formal dengan, yakni dengan ikut melukis di berbagai sangar.
Untuk menimba pengalaman, Ganes berguru ke pelukis Lee Man Fong. Di bengkel seni ini, ia menjadi asisten yang awalnya cuma menjadi tukang cuci kuas. Sambil menjadi tukang cuci kuas, rupanya Ganes mempelajari teknik melukis Man Fong.
Berbekal pengalaman dari Man Fong, Ganes bekerja di biro iklan bernama Tati. Di biro iklan ini, ia bekerja sebagai pembuat poster film dan pengisi huruf reklame. Bersamaan dengan pekerjaannya itu, ia aktif di perkumpulan seni Tunas Mekar di Radio Republik Indonesia (RRI), Jakarta. Di perkumpulan seni yang diasuh oleh Abdul Mutolib, Dr. Wiratmo, Pranajaya, dan Mus Mualim ini, ia mengasah kemampuan mengarangnya.
Salah satu sekuel film “Si Buta dari Gua Hantu: Sorga yang Hilang” (foto kiri) yang dibintangi Ratno Timoer.
Sebelum membuat komik Si Buta dari Gua Hantu, Ganes telah membuat puluhan judul komik roman dan drama eksyen, yakni Api di Hutan Rimba, Mutiara dari Tanusa, Di Bawah Naungan Flamboyan, dan juga komik humor seperti Mang Kiwil, Si Letoy, danKalijodo. Semua komik itu diterbitkan sebelum tahun 1965.
Pada tahun 1967, lahirlah komik Si Buta dari Gua Hantu setebal 128 halaman. Komik ini muncul di tengah kelesuhan pasar komik di Indonesia. Inspirasi Ganes ini didapat seusai nonton film koboi di Orion Theater. Dengan menambah bumbu silat dalam kisah laga, komik Si Buta dari Gua Hantu langsung menjadi ikon. Di tahun itu, komik ini menjadi komik terlaris di Indonesia, karena berhasil menembus angka penjualan 100.000 eksemplar.
Dari edisi perdana Si Buta dari Gua Hantu, Ganes menerbitkan edisi kedua di tahun yang sama. Judulnya Misteri di Borobudur. Berikutnya berturut-turut edisi Banjir Darah di Pantai Sanur (1968),Manusia Srigala dari Gunung Tambora (1969), dan Prahara di Bukit Tandus (1969).
Seiring popularitas Si Buta, Penas Film Studio mengangkat ikon dari komik ini ke layar lebar. Di film yang menjadi Si Buta adalah Ratno Timoer, sementara Maruli Sitompul berperan sebagai Si Mata Malaikat yang membunuh ayah Si Buta. Selain Maruli, ada pemain film lain yang berperan sebagai musuh Si Buta, yakni Sapu Jagad yang diperankan oleh Kusno Sujarwadi.
Pada tahun 1985, kisah Si Buta diangkat lagi ke film. Sebelum diangkat lagi ke film, Ganes sudah membuat beberapa edisi lagi, yakni Badai Teluk Bone (1972), Sorga yang Hilang (1974), Prahara di Donggala (1975), Perjalanan ke Neraka (1976), Si Buta Kontra Si Buta (1978), Kabut Tinombala (1978), dan beberapa edisi lain sebelum edisi terakhir di tahun 1989, yakni Mawar Berbisa.
Pada 10 Desember 1995, Ganes menghembuskan nafas terakhir tepat di usia 60 tahun. Indonesia kehilangan maestro komik yang telah menciptakan ikon dalam komik Indonesia. Saya sangat bangga bisa mengenal dan menikmati seluruh kisah Si Buta. Bagi saya, serial Si Buta tetap akan terus melegenda. Petualangan Si Buta mulai dari Jawa Barat sampai ke Bali, Flores, Kalimantan, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tengah menunjukkan pengetahuan Ganes TH yang luas dan kecintaan pada tanah air yang begitu dalam.
Bersama dengan Jan Mintaraga dan Teguh Santosa, Ganes tercatat sebagai salah seorang legenda komik Indonesia sejak Kho Wan Gie, R.A. Kosasih, Zam Nuldyn, dan Taguan Hardjo.