Jumat, 19 Februari 2010

KARIKATUR CERITO WAYANG SERI SIJI


JEMBATAN SUROMADU
Ditulis Oleh Sujiwo Tejo
Minggu, 23 Agustus 2009


Pagi itu ndak onok ombak ndak onok angin Raja Madura Prabu Baladewa ngamuk-ngamuk. Matanya yang dari zaman Aburizal Bakrie belum turun tanah pancen sudah mendelik sekarang malah tambah melotot. Keto' lebih mendidih dari lumpur Lapindo.

Ponokawan Gareng pontang-panting lapor Prabu Kresna. Ia tahu betul Baladewa takut bin takluk binti nurut hanya ke adik kesayangannya, yaitu Kresna. Ibarat Prabu Baladewa iku rata-rata pejabat negeri ini, nah Prabu Kresna iku rata-rata istri mereka. Laporkan saja segala sesuatu tentang Baladewa ke Kresna. Kabeh bakal beres...

Enak to, manteb to...

''Aduh Bos, Sang Prabu Titisan Batara Wisnu, The Real My Bos...'' Gareng begitu sampai langsung bersimpuh, ndeprok, curhat-curhat di hadapan Kresna. Tapi si Bos Kresna alias Prabu Madusudana bukannya ngadem-adem kakak Petruk itu malah nyolong kesempatan buat menguji.

''Kok waktu Bima ngamuk-ngamuk pas partai anaknya kalah di wilayah Kikis Tunggorono, Kang Gareng diem? Kok waktu Gatutkaca ngamuk punggung pas di televisi ada pementasan ketoprak operasi penangkapan pelaku teror, Kang Gareng juga diem?''

''Soal-e pas Ndoro Bima-Gatutkaca marah, nesune kan pake alasan. DPT pemilu ndak becus. Ndoro Bima moring-moring. Kuku Bima diacung-acungkan terus sampai para perempuan tunggang-langgang colong playu. Pementasan ketoprak operasi penangkapan teroris naskahnya kurang bagus. Putran-e Bima Ndoro Gatutkaca mencak-mencak. Masih kentara kalau operasi itu cuma buat nyeneng-nyeneng-no negeri seberang yang ngasih bantuan dana dan senjata. Ce' kelihatan ne' duwit dan senjata-ne kepake...Lha Prabu Baladewa moring-moring sebabnya apa? Ndak ada.''

...Bumi gonjang ganjing langit kelap-kelap...

Mendadak mata Prabu Kresna alias Harimurti mengandung sorot Batara Wisnu Sang Pemelihara Harmoni Dunia. Oooo....Di atas langit ada langit. Gareng alias Pancal Pamor boleh menepuk diri sebagai Ponokawan yang paling pandai beranalisa dan paling awas. Matanya yang juling menyimbolkan mata yang bisa menerawang seantero jagad. Tapi ternyata masih kalah dibanding mata empat kiblat sang Wisnu.

Wisnu seakan bersabda, hai Gareng, tidakkah kau tahu, tak ada satu pun peristiwa di muka bumi yang dapat terjadi tanpa penyebab termasuk kenapa Ahmad Dhani nikah siri ambek Mulan. Dan, penyebab itu tak pernah tunggal. Selalu jamak. Tidakkah kau melihat, sejatinya kemarahan Baladewa ada landasannya. Diam-diam beliau tidak terima orang-orang Madura yang punya talenta menjadi menteri perdagangan besi bekas dituduh sebagai biang kerok moksa dan murca-nya besi-besi Jembatan Suramadu.

Alasan kedua, Prabu Baladewa diam-diam tahu, cucu penjaga laut Dewa Baruna, yaitu Antasena akan menghancurkan Jembatan Suramadu. Bagi anak Bima dari Dewi Urang Ayu ini, Jembatan Suramadu mematikan semangat bahari bangsanya. Padahal di dalam tradisi bahari, laut bukanlah pemisah pulau. Pulau tak harus dihubung-hubungkan dengan jembatan. Di dalam negeri maritim, laut justru harus menjadi wahana penghubung itu sendiri.

Anak-anak negeri selain diajar kapan Perang Diponegoro meletus di daratan juga harus diajari berenang dengan gaya apa pun dari gaya kupu-kupu, gaya katak, sampai gaya kadal. Yang penting ngambang. Anak-anak negeri harus diajari cara bikin perahu, dari perahu kertas mainan, perahu gabus, sampai perahu pinisi. Dan ITS --kalau masih ada-- harus menjadi tulang punggung pembangunan kapa-kapal canggih di Nusantara. Lalu pendidikan manajemen kesyahbandaran harus menjadi perguruan yang paling bergengsi di negeri ini, paling sering masuk dalam sinetron dan infotainment, minimal sama seringnya dengan kemunculan SBY atau Manohara di televisi.

Dari pandang mata empat kiblat di jagad gumelar Wisnu melihat Antasena masih sibuk membantu Wisanggeni, anak Arjuna yang memihak rakyat kecil. Dua pemuda urakan namun berhati bersih dan tidak bisa krama inggil ini membantu bank-bank perkreditan rakyat alias BPR yang hari ini megap-megap karena bank-bank umum termasuk yang dikuasai asing mulai boleh memasuki pasar mikro, kecil, dan menengah (MKM). Itu pun Antasena masih sempat-sempatnya menuju Jembatan Suramadu. Waduh gawat! Gawat!

Di sepanjang pesisir Antasena berpekik-pekik, ''Apa beda China bantu Suramadu dan Belanda dulu bantu orang Makassar tapi dengan perjanjian Bongaya, yang nglarang orang Bugis membuat kapal dan mematikan tradisi bahari.

Waduh gawat! Gawat! Pada saat yang sama Baladewa yang kalap juga menuju Suramadu. Nanti kalau Bima, ayah Antasena ndak terima, yo' opo...Perang gada Baladewa-Bima?

Se-oncat Batara Wisnu dari raganya Kresna langsung membisiki Gareng dan membuat instruksi. Semula Gareng mau minta uang transpor. Tapi Kresna ndak oke. ''Sudah lari saja ke Suramadu meski kakimu pincang,'' kata Kresna, ''Naik hercules nanti jatuh, naik helikopter nanti jatuh. Naik kereta api nanti tut tut tut siapa hendak anjlok...''

Cakrawangsa, ya Gareng itu, lari melaksanakan perintah Kresna. Ia suruh adiknya, Petruk, yang easy going dan cengengesan mencegat Baladewa. Bagong yang suka ngotot dan asal njeplak disuruh mencegat Antasena.

Baladewa: Petruk beeee de'remma, je' kal pokal jangan lang-ngalang lakuku ngajar si majenun Antasena nanti ta' kepruk ndasmu ambek gada Nenggala...

Petruk: Hehehe...sekarang kabeh wong pada puasa. Ndak pantes Sampeyan ngamuk-ngamuk koyo' ngono. Sampeyan yo ikut puasa sana. Tapa samadi nduk Grojogan Sewu sampai Lebaran nanti. Apa mlotat-mlotot!? Mau ngepruk kepalaku. Monggo. Tapi saya ke sini ini diperintah Prabu Kresna lho...

Baladewa: Wah,...mbok ngomong dari tadi Truk...Iya iya aku mau tapa ke Grojogan Sewu...

Baladewa panik langsung ngacir. Di tempat lain, di pesisir, Bagong mendorong-dorong tubuh Antasena mundur.

Bagong: Sudah sana. Ke laut. Negeri awake dewe iki masih negara bahari kok. Kita masih bisa renang, naik tongkang, naik feri, naik perahu, naik kapal. Kita masih bangsa pelaut. Aku pun masih seorang kapiten.

Antasena: Ndak ngono, Rek. Sudah ada Jembatan Suramadu. Tradisi kelautan kita bakal mate'.

Bagong: Itu kalau kita dari Jawa ke Madura. Namanya saja Surabaya-Madura. Suramadu. Itu jalan satu arah. Kalau kita balik dari Madura ke Surabaya, Madusura, belum ada jembatannya. Jadi orang-orang masih harus nyemplung lewat laut.

Tiba-tiba wajah Bagong tampak berubah jadi Thukul Arwana. ''Puas!!!? Puas!!!? Puas!!!?'' gertaknya.

Antasena ketakutan. Nyebur kembali ke laut, menyusul upacara 17 Agustusan di dasar Laut Bunaken. Siapa tahu tanggal 23 ini masih belum terlambat. (*)

*) Sujiwo Tejo tinggal di www.sujiwotejo.com